Mohon tunggu...
benk widhiono
benk widhiono Mohon Tunggu... -

dengan pedang seseorang akan mati dengan luka tusukan, dengan bom seseorang akan mati dengan luka ledakan, dengan kata-kata seseorang tak akan pernah mati tapi akan menderita sakit seumur hidupnya. maka senjata yang tak bverperasaan itu kata-kata. tinggal bagaimana kita memperlakukannya. menjadi teman atau lawan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Coffernus "Aku Tak Akan Gagal"

1 Maret 2018   23:18 Diperbarui: 1 Maret 2018   23:27 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Maka hati siapa yang tak remuk. melihat mata orang terkasih menjadi basah berbasuh. Air mata yang semestiya tumpah untuk sebuah haru dan bangga, akhirnya menetes pada saat yang tak selalu tepat. Bolehlah bunda memarahiku. memaki-makiku. Atau memukulku sekalipun tak apa. Aku terima penuh rasa cintra. 

Sakitnya pun tak seberapa. Lusa juga sirna.  Tapi, kalau sudah begini, remuk sudah rasanya, melihat setetes demi setetes air mata suci itu, owh..., tidak. sakitnya luar biasa. Dari mata hingga ke relung hati. Belati kecewanya telah ia putuskan untuk ditusukan pada sebilah hati penyayangnya. meremukkan ketegaran yang seharusnya menegakkan dagunya, seperti biasannya. 

Seumur-umur baru kali ini aku rasakan gagal sebagai seorang anak bunda. Sejak kecil aku selalu menjadi apa yang dia mau. Bocah periang yang dibangga-banggakannya. Piala-piala sejak aku SD, sudah entah berapa jumlahnya. Bahkan saat aku merasa putus semangat sekolah, Bunda tak juga marah padaku. 

Dari kelembutannya cuma dia katakan; "setidaknya tamatkan sekolahmu hingga SMA". Dia paling tahu akan kondisi fisik dan mentalku. Dia memahaminya. Menyadarinya. Dia tak menuntutku untuk sebanding dengan Ki Hajar Dewantara, B.J. Habiebie ataupun Albert Einstein. T

ak pernah. Dia selalu mendukung putranya menjadi diri-sendiri. Pribadi yang keluar dari penalaran dan karakter, bukan ikut-ikutan. bukan sebuah imitasi ataupun identifikasi. Dan aku selalu memberi yang dia mau. Aku selalu bisa memberi kejutan. Salah satunya nilai ijazah SMA-ku yang lebih dari cukup. Dengan rata-rata mendekati sembilan. entah bagaimana caraku mendapatkannya. aku cuma mau menjadi yang bisa membahagiankan wanita tua itu.

Waktu berlalu. Bocah menjadi dewasa. Menjadi seorang individu tanpa bayang-bayang yang melindungi,lagi. Masalah Hidup semakin Kompleks. Sedikit demi Sedikit aku hadapi. 

"Sebuah Kedai, ya. Itu masih biasa, Beng. cobalah dengan nama baru yang asing namun dimengerti banyak orang", Ucap ayah diruang tengah waktu itu.

"Apa yah?, Masa iya aku kasih nama Pasar kopi. Itu selain asing dan tak mudah diterima malah wagu sekali yah", ucapku. tanganku menyangga dagu. Anganku memilah, memilih milyaran kosa kata untuk nama usahaku.

"Masa Caffe dan Coffe dalam satu kalimat", gumanku sebal.

"Caffe kalau sama Juice itu baru wasis,  Juice Caffe", sahut ayah.

"Caffe juice ya, planet juice, Saung Juice, kenapa beruntung sekali si Juice. sama kata apa saja kok wasis", protesku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun