Pemerintah melalui program sertifikasi mengharapkan kemampuan profesional guru meningkat. Imbasnya, kualitas lulusan peserta didik serta kualitas SDM di Indonesia menguat. Namun sejak pelaksanaan sertifikasi hingga saat ini masih saja kita temukan kekecewaan, baik dari segi pemerintah, guru maupun masyarakat/ orang tua siswa.
Kekecewaan pertama adalah pemerintah. Berulang kali menghimbau kepada guru penerima uang sertifikasi agar menggunakan dananya untuk tujuan peningkatan kemampuan seperti mengikuti pendidikan lanjutan, membeli sarana pembelajaran serta yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Hal ini karena disinyalir banyak guru yang belum siap ketiban rejeki berupa dana sertifikasi sehingga akhirnya mereka membelanjakan uangnya untuk keperluan konsumtif, seperti membeli perangkat rumah tangga, mobil baru , investasi tanah dan semacamnya. Pemerintahpun geram yang berakibat upaya memperketat proses sertifikasi ini agar benar-benar menyasar. Mendengar hal ini, guru cemas. Khawatir kehilangan uangnya. Takut tidak menerima lagi sertifikasinya.Â
Kekecewaan kedua berasal dari guru. Seringkali berita cairnya dana sertifikasi ini selalu di blow up di media massa. Seolah hanya guru yang teristimewa berhak menerima dana lebih dari pemerintah. Padahal kenyatannya, banyak dinas lain yang juga menerima dana remunerasi yang besarnya juga sama dengan sertifikasi. Tapi tidak dibesar-besarkan di media. Parahnya, setelah seluruh dunia tahu bahwa uang akan cair, kenyataannya prosesnya membutuhkan waktu lama. Setelah pemberkasan, diterpa isu sana sini, dana tak kunjung turun. Bagai diberi umpan kosong, guru sering dibuat mumet hanya untuk menagih haknya.Â
Kekecewaan ketiga adalah dari masyarakat/ orang tua murid. Mereka menuding guru sertifikasi mengabaikan jam mengajar karena terlalu sibuk mengurusi haknya tersebut. Akibatnya kelas sering kosong dan siswa tidak mendapatkan haknya belajar yang memadai. Saling tuding dan tuduh ini seperti tidak pernah ada habisnya. Belum lagi, guru bersertifikasi tidak mencerminkan guru profesional sejati. Penampilannya lusuh, semangatnya layu, senyumnya kosong. Jangan bicara profesional kalau sudah menemukan guru yang seperti ini.
Kita semua, dapat memutus kekecewaan itiu dengan jalan bersungguh-sungguh memenuhi harapan pemerintah. Jika pemerintah sanggup membayar guru dengan gaji berlipat, lalu kenapa guru tidak mau mengembalikan bayaran dengan kinerja yang juga berlipat?Â
Seolah, ungkapan di atas terasa mudah diucapkan. Namun di lapangan tersa sulit dilakukan. Pemerintah ahnya mampu membayar berlipat, tapi prosesnya berliku. Apabila guru juga mampu memberi kinerja berlipat, tentu saja prosesnya juga berliku. Kemampuan guru sebenarnya sudah teruji saat lulus kuliah jurusan pendidikan. Di sana ada dosen yang menguji teori dan praktek. Yang jadi masalah adalah jarang sekali guru mampu mengembangkan dirinya agar memiliki kemampuan lebih! Alasannya bermacam, usia, keadaan fisik, keadaan lingkungan, keterbatasan dana dan lain-lain. Namun jika semua alasan itu bisa gugur dengan kata: asal mau pasti bisa, maka yang menjadi kunci bagi guru adalah kemauan!
Maukah guru meningkatkan kemampuannya? Sberapa besar kemauan itu? Bagaimana mengukur tingkat kemauan guru?Â
Saya pikir ini PR antara pemerintah dan organisasi profesi guru.Â
Jika guru mau, pasti mampu. Jika pemerintah mau mempersingkat alur sertifikasi, pasti mampu mecairkan dana dengan lebih cepat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H