Istilah “Ahok peras” menghiasi halaman twitter, facebook dan beberapa portal berita. Ponaan saya 8 tahun, pun bilang, “om tadi di internet ada berita Ahok peras Podomoro.” Kata-kata peras dalam kamus bahasa Indonesia, berarti memijit (menekan dsb) supaya keluar airnya; memerah. Apa yang diperas Ahok pada Podomoro? Kenapa wartawan-wartawan itu memilih menggunakan kata “memeras?” Bukan minta jatah? Atau Ahok minta fee?
Sebenarnya pengertiannya saling mepet, tapi kata Ahok peras paling dominan di media. Meski ini baru dugaan, tapi kata-kata Ahok peras, itu seperti menampar muka Ahok.
Makin hari, pilihan diksi yang disandingkan pada Ahok makin menggerus kredibilitas Ahok.
Misalnya, kata-kata Ahok kejam, culas, dikator, fasis dan sekarang memeras, adalah pilihan diksi perlawanan. Semakin banyak pilihan diski perlawanan ini dialamatkan ke Ahok, semakin berkurang juga pilihan diksi posiitif pada Ahok. Bahkan saat ini, bila kita timbang, jumlah diski negatif untuk Ahok, itu jumlahnya lebih banyak dari pada diski positif. Bahkan kini, Ahok terlihat tekor dengan diksi-diksi positif yang diperuntukkan publik padanya.
Contoh ; jika di google, anda ketik dua kata; Ahok kejam : maka istilah kejam yang dialamatkan pada Ahok itu tersusun bejibun beberapa laman. Begitupun kata-kata fasis, diktator dan kawanan diksi negatif lainnya untuk Ahok. Kalau kita survei, pilihan diksi postif untuk Ahok sangat minim. Sebaliknya figur lain selain Ahok, surplus dengan sandingan diksi-diski positif.
Kata-kata itu cermin. Sebagaimana fungsi cermin, bentuk muka asli, tak pernah dibohongi cermin. Terkecuali cermin cembung, meski ganteng, tapi nampak monyong bila berkaca. Pilihan diksi oleh publik, adalah cermin dan watak Ahok ssungguhnya. Terkecuali Ahok narsis, lalu serta-merta menganggap dirinya baik meski berprilaku kejam pada rakyat kecil. Ahok sudah kadung, dilekatkan dengan diksi-diksi perlawanan bejibun. Ahok tergelatk begitu saja dengan sandingan diksi-diksi negative. Namun, watak tempramen dan rogannya, Ahok urung ngaca pada pilihan diksi negative dari publik padanya.
Kalau kata-kata itu cermin, maka sesungguhnya Ahok jarang ngaca. Padahal, ngaca itu penting. Begitu pentingnya ngaca depan cermin, sehingga; Justus Von Liebig kimiawan berkembangsaan Jerman, 200 tahun lalu bereksperimen menemukan cermin.
Karena Ahok jarang ngaca pada pilihan kata-kata publik untuknya, sehingga ia acapkali narsis dengan kelakuan culas dan kasar pada rakyat; dan dianggapnya benar. Misalnya Ahok menganngap benar menggusur warga Bidara Cina; lalu dikalahkan di PTUN. Jadi Ahok jarang berkaca pada rakyatnya sendiri.
Berita soal Ahok peras Podomoro ini, bermula dari berita Teropong Senayan, bahwa total dana yang diminta Ahok kepada APL dengan dalih kontribusi tambahan ini mencapai Rp 392.672.527.282. Dimana realisasi anggarannya sudah mencapai Rp 218.715.943.217, sementara sisanya Rp 173.956.584.065 belum diberikan kepada Pemprov DKI Jakarta," ungkap salah seorang pegawai APL yang mewanti-wanti agar namanya tidak disebutkan, Selasa (11/5/2016).**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H