Mohon tunggu...
Gempar Alam
Gempar Alam Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Kebenaran adalah soal hitam putih

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golkar dan Demokrasi Kanibal

31 Maret 2015   14:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427786715138884416

[caption id="attachment_375889" align="aligncenter" width="449" caption="Golkar dan Demokrasi Kanibal (gambar : aboed picture doc)"][/caption]

Ada tiga tipe perangai politik para politisi. Yang pertama; politisi jam 4-5 pagi, cenderung sejuk dan adem dalam bertutur dan menampilkan prilaku politik yang menyegarkan. Lalu politisi jam 12 siang yang cenderung menggerahkan, culas dan temperamental, dan politisi senja, atau menjelang magrib yang wise dan penuh pesan-pesan moral politik (high politic).

Melihat fenomena Golkar dan aksi kekerasan yang acapkali ditampilkan kubu Agung dan Yoris cs, lebih tepatnya kubu rival Abu Rizal Bakrie (ARB) ini masuk dalam kategori politisi dengan perangai jam 12 siang. Jam-jam ini (12 siang) udara cenderung panas, tensi darah tinggi, dan emosi meledak-ledak; bahkan cenderung culas dan tak rasional. Khas prilaku orang di jam 12 siang.

Premanisme politik tengah membudaya di partai beringin tua. Inilah separuh dari klimaks partai Golkar yang tergerus oleh orientasi politik kader yang makin tak jelas. Sesama kader saling memakan. Ketika Yoris Raweyai dan rombongan preman berbadan gempal menyerbu anarkis ruangan Fraksi Golkar yang dikuasai kubu ARB, kita lantas bertanya, pendidikan politik apa yang dipertontonkan politiisi Golkar itu?

Selama Yoris tampil sebagai martir politik Agung Laksono, sejumlah pertanyaan publik menyeruak, apakah Yoris politisi Golkar? Atau Yoris preman Golkar? Atau Yoris bodyguard Agung? Tak pelak, lakon Yoris cs itu memperlihatkan pada kita, betapa anarkisme itu seperti anak haram politik. Yoris dan Agung cs, menampilkan perangai politik jam 12 siang. Acap kali culas, bengis dan tak menggunakan akal sehat.

Peran-peran Yoris di publik selama ini bukan karena argumentasi cerdasnya soal legal standing kongres Golkar versi Ancol-Jakarta, namun yang dilakukan Yoris adalah prilaku-prilaku anarkis yang menggambarkannya sebagai sosok preman politik. Perilaku anarkisme Yoris cs, adalah simbol matinya nalar, etika serta kesantunan politik para kader pohon beringin dibawah didikan JK dan Agung cs.

Mestinya, sebagai politisi dengan jam terbang tinggi, Yoris menunjukkan kelasnya, di level mana ia harus berkonfrontasi dengan kubu Abu Rizal Bakrie (ARB). Dengan lakon badungnya tempo malam di lantai 12 Gedung Nusantara I DPR, kita bisa ukur separti apa kualitas Yoris sebagai politisi? Bayangkan, partai sekelas Golkar, untuk urusan-urusan strategisnya diserahkan ke tangan preman?

Justru dengan pilihan menepi dari ajakan konfrontasi fisik Agung dan Yoris cs, menempatkan ARB sebagai politisi berotak, dari pada Yoris cs yang melulu menumpahkan perangai anarkis di layar kaca dan halaman depan Koran. Perilaku anarkis kubu Agung dan Yoris cs, menampilkan sisi represif orde baru yang masih tersisa. Maka kita membayangkan, bagaimana jika kekuasaan diberikan pada orang-orang seperti Agung atau Yoris, tentu mengatasi masalah-masalah pemerintahan, mereka cenderung menggunakan langkah-langka represif daripada persuasif !

Rivalitas Agung vs Abu, yang berujung pada bencana dualisme Golkar adalah separuh dari antiklimaks Golkar dengan gundukan conflict of interest antarpara elitnya. Golkar, dengan heterogenitas yang tinggi, pernah terjaga semasa orde baru, karena manajemen partai dilakukan dengan doktrin rezim dan manajemen konflik pembungkaman oleh Soeharto. Maka Golkar dengan kelompok kepentingan yang seabrek-abrek itu, tak getas oleh geteran-getaran ringan politik di sekitarnya.

Berbeda dengan Soeharto, sejak JK hingga ARB, manajemen partai dilakukan dengan sangat pragmatis. Riak-riak politik yang menggelembung di permukaan Golkar, cukup ditenggelamkan dengan iming-iming, lalu riak-riang politik itu kembali terbenam, maka manajemen partainya, 180 derajat berbeda dengan Golkar di era orde baru dan awal-awal pasca reformasi. Golkar di era Akbar Tanjung, emosi dan sentiment orde baru masih mampu mengkonsolidir Golkar, hingga partai penguasa orde baru itu kuat kembali dan menang pada pemilu 1999 dan berlanjut ke pemilu 2004.

Golkar di dua periode (era JK dan ARB), merawat konflik dengan pendekatan pragmatis, maka eskalasi konflik yang timbul hilang di tubuh Golkar, sebenarnya riak-riak bergaining yang masih berkaitan dengan pragmatisme internal Golkar.

PDIP sebagai partai seuzur Golkar, punya intiusi politik yang tajam. Megawati tahu persis cara mengobok-obok partai Golkar. Cara yang dipakai adalah melalui tangan pemerintah (petugas partai). Megawati dan PDIP, sesungguhnya terganggu dengan Golkar, baik versi ARB ataupun versi Agung. Meski keduanya (Agung dan ARB) menang melalui proses demokrasi yang normal, PDIP akan tetap kegerahan.

Bila Agung sebagai ketua Umum Golkar dan kemudian mendukung pemerintahan Jokowi-JK, maka pelan-pelan resources pemerintahan akan terkeruk oleh Golkar melalui JK sebagai mentor Agung.

Terkikisnya pengaruh SBY oleh JK dimasa keduanya berkuasa di pemerintahan pada 2004-2009, adalah referensi Mega dan PDIP, bahwa JK akan dengan mudah mengendalikan pemerintahan, bila Golkar digenggamnya. Maka pengesahan Golkar versi Agung oleh Menkumham Yasonna, adalah langkah provokatif membelah Golkar. Demikianpun bila ARB menjadi ketum Golkar dan berada di luar jalur pemerintah; inipun cukup mengganggu PDIP dan pemerintahan Jokowi-JK.

Maka langkah yang paling mungkin bagi Mega dan PDIP adalah mengobok-obong Golkar, dan melarutkan keduanya (Golkar versi Agung dan Abu) dalam kemelut konflik yang berkepanjangan.

Di tengah-tengah pembengkakan konflik internal Golkar itu, bargainingnya akan lemah, dan PDIP menjadi leluasa berkuasa di kancah politik dan pemerintahan. Ini yang diingikan Mega dan PDIP.

Kalaupun JK melalui kemenangan Agung merasa menggenggam Golkar, nyatanya cuma menggenggam kentut, cuma rasa dan aroma saja namun tak berwujud. Disaat yang sama, Mega dan PDIP sumringah, menyaksikan bergugurannya beringin tua itu.

Agung dan Yoris cs dengan tingkah politiknya yang badung, hanyalah bola-bola kecil yang dengan mudah digelinding kesana-kemari oleh Mega; itu karena mereka; ARB, Agung dan Yoris cs, sama-sama haus, buas dan liar; mereka saling memakan. Begitu adanya. Sekarang kita tinggal menunggu, waktu yang tepat, kapan beringin tua itu benar-benar tumbang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun