Disadur dari artikel dengan judul yang sama dan sudah diterbitkan di Koran Suara Pembaruan (02 September 2014)
[Jakarta] Meski cadangan pasokan listrik cukup di Jawa, Madura, dan Bali, namun dengan pertumbuhan permintaan listrik di kawasan itu yang mencapai 7% per tahun dan beban puncak yang mencapai 22.381 MW, diperlukan tambahan kapasitas pembangkit minimal 1.500 hingga 2.000 MW per tahun.
Tidak seperti yang disangkakan banyak orang, Pulau Madura selama ini telah menikmati pasokan listrik yang kontinu, bahkan masih melebihi kapasitas yang diperlukan. Saat ini beban listrik yang dibutuhkan oleh Madura adalah sekitar 120 MW, sedangkan pasokan melalui aliran jembatan Suramadu mencapai 200 MW.
Belakangan memang sempat terjadi gangguan listrik, namun padamnya aliran listrik di empat kabupaten di Madura tersebut akibat layang-layang milik warga yang jatuh menimpa jaringan, hingga berdampak buruk terhadap gardu listrik dan menimbulkan ledakan. “Gangguan aliran listrik di Madura akibat layang-layang. Yang tertinggi terjadi di Pamekasan, terutama di wilayah kota. Sebab, masyarakat di sekitar kota banyak menerbangkan layang-layang,” ujar Kepala Area Pelayanan Jaringan (APJ) PT PLN Pamekasan Abbas Santoso di Jakarta, Senin (1/9).
Selain itu, susut listrik di Madura juga terjadi karena masalah struktural. Lima gardu induk (GI) yang ada di sana berada di pantai selatan. Akibatnya, penduduk di sepanjang pantai utara harus dikirimi listrik dari jaringan 20 kv. Kalau di pantai utara dibangun satu atau dua GI, susut itu akan turun sekitar 5 persen. Jaringan kabel 20 kv yang terlalu panjang memang menjadi salah satu penyebab daya listrik susut.
Walau selama ini ketergantungan pasokan daya listrik di kawasan Madura banyak menggantungkan dari Jawa, hal itu segera teratasi. Sebab, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bangkalan, Madura. General Manager PT PLN Distribusi Jatim, Mardawa Padangratha menjelaskan, pembangunan PLTU Bangkalan akan dimulai tahun ini dan diharapkan pada 2016 sudah selesai dan siap dioperasikan.
Akan tetapi, PLN juga mengharapkan warga Madura tetap melaksanakan kewajibannya membayar tagihan listrik. “Investasi listrik di Madura yang berkelanjutan hanya bisa dilakukan apabila warga juga tetap melaksanakan kewajiban mereka. Jangan sampai PLN dirugikan oleh ulah pencurian listrik dan penunggakan pembayaran,” ujarnya.
Persoalan lain, 100 persen pelanggan listrik di Madura adalah rumah tangga. Pelanggan besar yang dilayani dengan tegangan menengah (TM) hanya 0,9 persen. Kalau saja ada pabrik yang cukup besar di Madura, komposisi pelanggan akan berubah dan susut listrik bisa membaik. “Kalau ada beberapa pabrik yang mampu menyerap listrik 40 MW saja, susut listrik bisa turun lagi 5 persen. Kalau satu pabrik semen saja berdiri di Madura, itu sudah bisa memperbaiki struktur listrik yang lemah,” ujar Manager APJ Madura, Bintoro.
Dikatakan, pihak PJB selama ini juga telah menolak anggapan perlunya pembangkit listrik khusus di Madura. “Pembangkit listrik sudak tidak lagi diperlukan dengan adanya pengaliran listrik melalui jembatan Suramadu,” katanya. Dulu memang ada rencana menggunakan PLTG Gili Timur sebagai pemasok utama listrik di Madura, namun ternyata perhitungan pembangunan pipa gas dari Gresik ke Gili Timur menjadikan beban investasi terlalu mahal dan tidak feasible. PLN akhirnya memutuskan untuk merealokasi PLTG Gili Timur ke Riau dan membangun jaringan listrik tingkat tinggi ke Madura yang jauh lebih efisien.
Apabila dilihat lebih lanjut, ada hal lain yang menyebabkan Madura tampak sepertinya kekurangan listrik. Gubenur Jawa Timur Sukarwo pernah mengatakan, separuh lebih rumah tangga di Pulau Madura belum bisa menikmati listrik karena dipicu area topografi setempat yang banyak pegunungan, sehingga menyebabkan layanan listrik PLN tidak terjangkau.
Dijelaskan, untuk pulau Madura hanya 48 persen rumah tangga yang bisa menikmat layanan listrik PLN, sementara sisanya belum bisa menikmati layanan listrik. Untuk Jawa Timur, lanjutnya, rata-rata rumah tangga yang berada di kawasan selatan, seperti Pacitan dan Trenggalek, belum mendapatkan aliran listrik. Dengan kondisi topografi masing-masing kawasan, biaya infrastruktur kelistrikan membengkak dan masyarakat tidak bisa menjangkau. “Rata-rata warga bertempat tinggal yang terpencar-pencar, sehingga rasio bisnis mereka tidak ketemu alias rugi, termasuk juga dengan pemasangan tiang pancang yang memakan biaya besar. Kondisi itu tidak bisa dilakukan dengan cara business to business,” ujarnya.
Satu-satunya jalan, ujarnya, pemerintah membantu akses penyediaan listrik dengan subsidi. Dia menjelaskan, dana yang dibutuhkan untuk membangun jaringan listrik untuk daerah yang belum terlayanan oleh PLN mencapai Rp 125 milyar, sementara kekuatan PLN hanya Rp 80 milyar. Kenyataan itu juga menghempaskan tudingan kepada Pertamina bahwa mereka berkolusi dengan perusahaan swasta yang sedianya akan menyalurkan gas ke PLTG Gili Timur. Artinya, tudingan bahwa telah terjadi korupsi gas, tidak berdasar. Sebab, PLN justru melakukan penghematan dengan menggunakan jembatan Suramadu sebagai infrastruktur mengalirkan listrik ke pulau tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H