Tepat pada tanggal 17 September tahun 2022, Kohati atau Korps-HMI-Wati tengah merayakan hari jadinya yang ke-56 tahun. Sebuah usia dewasa jika disamakan dengan manusia. Usia di mana tingkat kematangan berpikir dan bersikap tak lagi perlu diragukan. Sebagai wadah, Kohati menyediakan lahan sekaligus akses bagi siapa saja perempuan khususnya anggota dari organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk berani mengepakkan sayapnya di lingkungan masyarakat. Kohati juga mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat dengan memfokuskan pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah menjadi pendorong terwujudnya kepastian hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual. Baik itu sanksi hukum bagi pelaku maupun perlindungan hukum bagi korban. Dilansir dari laman kemenpppa.go.id, statistik persentase jumlah perempuan korban kekerasan seksual di Indonesia masih terus bertambah. Pada tahun 2020 tercatat 85,72% perempuan menjadi korban dari total 20.501 jumlah kekerasan seksual. Angka tersebut tidak mengalami penurunan ataupun kenaikan signifikan pada tahun 2021. Yakni 86,28% korban perempuan dari total 25.210 kasus. Sedangkan pada tahun 2022 tercatat per juli 2022 angka persentase korban kekerasan seksual merambah naik secara signifikan menjadi 91,89% dari total 16.912 kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Melihat data tersebut, ttik permasalahan yang terjadi bukan lagi angka jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia, melainkan jumlah korban perempuan dari kasus-kasus tersebut yang kian meningkat. sementara diketahui dalam pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik termasuk dalam delik aduan. Yang mana kasus tersebut hanya bisa diproses hukum jika terdapat aduan dari korban. Berdasarkan data tersebut, terdapat kemungkinan jumlah korban yang berani melapor mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan setidaknya semakin banyak korban yang berani melapor, meskipun akan mengakibatkan meningkatnya data jumlah korban kekerasan seksual.
Adanya peningkatan tersebut tidak lepas dari keberadaan Kohati yang turut mengambil beberapa peran sesuai dengan tingkatannya. Kohati setingkat daerah (Studi kasus: Kohati cabang Salatiga) dan wilayah (Studi kasus: Kohati badko Jateng-DIY) bekerjasama dengan dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (DPPPA) setempat berperan dalam memberikan sosialisasi dan konseling bagi perempuan-perempuan, termasuk korban kekerasan dan pelecehan seksual. Sementara di tingkat pusat, Kohati berperan dalam audiensi bersama beberapa stakeholder terkait regulasi/ kebijakan yang dikeluarkan sebagai upaya penanganan kasus-kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di Indonesia.
Meskipun telah berkiprah sedemikian rupa, kepastian hukum terhadap kasus-kasus tersebut masih sangat lemah. Belum ada langkah konkrit terkait hal tersebut yang dapat dilakukan oleh Kohati sebagai organisasi pemberdayaan perempuan setingkat mahasiswa terbesar di Indonesia. Hingga kini masih banyak hal yang perlu diupayakan oleh organisasi-organisasi pemberdayaan perempuan guna mensejahterakan perempuan-perempuan Indonesia termasuk dalam upayanya mengentaskan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual.
Oleh karenanya, perlahan tapi pasti serta langkah demi langkah yang masih terus digerakkan hingga kini, semoga dapat memberantas angka kekerasan dan pelecehan seksual serta kejahatan-kejahatan lain terhadap anak dan perempuan di Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya. Dengan catatan, pengawasan dan kontroling terhadap para pemangku kebijakan dalam mengeluarkan regulasi terkait hal tersebut harus tetap diperkuat, sehingga dapat terlahir kebijakan-kebijakan yang adil dan tepat sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H