Mohon tunggu...
Dipa Wijaya
Dipa Wijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - pedagang

Bapak 5 anak, berusaha jadi nasabah prioritas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mas Kawin yang Sesuai

9 November 2022   18:00 Diperbarui: 10 November 2022   09:07 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai individu yang digolongkan ke dalam kelas vertebrata penerima PKH, mata saya terbelalak, batin saya menggeliat, nurani saya tercekat, sewaktu membaca berita di sebuah media online yang menyebutkan bahwa maskawin untuk meminang seorang gadis bugis rata-rata mencapai kisaran 3 digit dengan 6 nol dibelakangnya.

Ingatan saya terlempar jauh ke masa 14tahun yang lalu pada moment dimana saya mempersunting seorang wanita sempurna dengan nominal maskawin 200 ribu rupiah saja. Sebuah angka yang amat sangat sederhana. Sesederhana hidangan harian yang disajikan oleh wanita sempurna itu setelah beberapa tahun memenuhi ruang dan waktu saya. Lauk tahu.. Pauk tempe..

Sebagian besar pernikahan yang terjadi di desa saya, entah itu disengaja karena memang sudah direncanakan jauh-jauh hari, ataupun yang tidak disengaja karena kedua mempelai yang akan bersanding sudah secara istiqamah mencuri start malam pertama dan berbuah jabang bayi dalam perut mempelai wanita, secara umum selalu melibatkan nominal tingkat sudra dalam pemberian maskawin kepada mempelai wanita. Selalu dalam kisaran dibawah 500 ribu rupiah.

Tentu saja tidak termasuk pernikahan Sarwo, seorang yatim yang pernikahannya terlaksana berkat iuran warga RT. 

"Saya terima nikah dan kawinnya Sumirah binti almarhum Basirin dengan maskawin sebuah jam dinding dibayar tunai.." ucap Sarwo setegas SBY.

Penggunaan jam dinding pemberian Pak Kadus sebagai maskawin itu memang hasil permufakatan dari seluruh warga RTO8/RW04 karena uang iuran warga sudah habis untuk membayar sewa sound system milik Kang Prapto. Waktu itu Bi Kijem, Ibunda dari Sarwo, memang kekeuh menyewa sound system untuk memeriahkan pernikahan anak semata wayangnya itu. 

Semua saran dari warga yang mengatakan sebaiknya tidak usah menyewa sound system dan uangnya digunakan untuk maskawin, ditolak mentah-mentah tidak dengan argumen yang runut dan masuk akal, tapi dengan raungan tangis yang menggemparkan seluruh kawasan.

Ternyata pernikahan kasta dalit antar anak yatim yang berlangsung khusyuk dan mengundang gerimis hati para saksi itu, dapat membuktikan kebenaran sebuah teori nyinyir "Besaran maskawin tidak menjamin kebahagiaan sebuah pernikahan" yang dilontarkan kaum proletarian seperti kami.

J I K A.. Jika saya adalah seorang pewaris group Bakrie, tentu saja saya akan memberikan maskawin milyaran atau bahkan ratusan milyar untuk seorang wanita yang menjadi pujaan hati saya. Secara naluriah, seorang pria akan memberikan dan mengusahakan apapun untuk wanita yang sudah bertahta dalam hatinya.

Masalah Rose yang yakin akan bahagia setelah menikah dengan Jack, pliss.. itu tak lebih gimmick dari Celine dan Marcel. Bayangkan jika Jack tidak jadi meninggal dalam kegelapan Atlantik.. Mereka berdua akan menikah dengan maskawin dari Jack paling berupa lukisan yang sampai sekarang saya ingat detailnya itu. Rose akan cemberut, sementara penghulu dan para saksi pria akan berlumuran air liur setelah melihat maskawin yang diberikan oleh Jack.

Setiap kelas tentu saja punya tingkat kepantasan yang secara sadar di anut oleh golongannya sendiri. Seorang pria dengan nama belakang Bakrie, tidak mungkin menikahi seorang wanita dengan maskawin sebesar 200ribu rupiah.. Sama tidak mungkinnya seorang Sarwo mempersunting Sumirah dengan maskawin seperangkat Cartier.

Sarwo sudah sukses dalam takaran kesuksesannya. Usai bekerja sebagai kuli bangunan, dia selalu bersemangat ngarit untuk 5 ekor kambingnya. Sementara Sumirah secara ikhlas dan gembira selalu membawa Sri Kurniawati, bontotan mereka, ke tempat pemasangan bulu mata yang jadi pekerjaannya. 

Sejak setahun yang lalu, Sarwo dan Sumirah sudah berboncengan menggunakan Suzuki Smash warna biru setiap pergi kondangan antar kampung. Bunyi "PREEETT" dari klakson yang di pencet setiap berpapasan dengan tetangga, akan mengantarkan sang penerima klakson kepada kedalaman senyum dan renung.

"Jan ora ngira.. Sarwo sing arep ngijab be ndadak urunan warga, siki wis sukses kaya kae.." ("Sungguh tak disangka.. Sarwo yang sewaktu akan menikah saja harus menunggu iuran warga, sekarang sudah sukses seperti itu..")

Privilege yang dimiliki oleh Sarwo hanya yang diberikan oleh Tuhan.. yaitu hidup. Dia tidak lulus SD, dia tidak punya orang dalam di PERTAMINA atau TELKOM, bahkan Privilege kelas mujair berupa "saudara jauh Pak Kades" pun dia tidak punya.

Mau tidak mau, Sarwo menjadi role mode bagi para pria di kawasan saya tinggal. 

"Alah ngode nggo ngapa.. ngijab modal jam dinding be sah.." ("Alah buat apa kerja.. menikah modal jam dinding saja sah..") 

Tentu saja hanya para pria bajingan nan malas yang menganut prinsip seperti itu. Para pria soleh nan bertanggung jawab tentu akan sekuat tenaga bekerja untuk dapat menikahi wanita pujaan hatinya dengan maskawin yang "sesuai".

Jam dinding warna merah bertuliskan BODREX itu masih terpajang rapi dalam kamar utama rumah Sarwo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun