Mohon tunggu...
Fahmi Idris
Fahmi Idris Mohon Tunggu... Professional IT - System Analyst -

Introvert, Kinestetik, Feeling Extrovert, System Analyst, Programmer, Gamers, Thinker, Humorous, Dreamer. Web : ghumi.id Instagram : fahmi_gemblonk

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Novel) Penggenggam Jasad: Malam Pertama

22 Desember 2011   14:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebelumnya :

“Sudah sampai to nak Galuh? Naik taxi ya? Atau jadi sewa mobil?” mbah Dewo menyapa dari arah ruang belakang.”

“Haa? Taxi? Zewa mobil?” Coki bertanya dalam hati.

“Mboten mbah, kan mbah sudah menyuruh mas Tejo menjemput kami?” Galuh menjelaskan.

“Loh? Saya nggak menyuruh siapa – siapa kok nak, Tejo itu siapa?”

Mendadak mereka berlima pun saling berhadapan dengan tanda tanya besar di kepala.

*****OOOOOO*****

Malam Pertama

Mereka berlima tak menghiraukan kebingungan karena ucapan mbah Dewo soal jemputan. Dengan gontai mereka berlima menuju ruang tengah. Dari mereka berlima, hanya Sani lah yang paling banyak bawaannya. Dia membawa tas carrier besar yang tertempel apik pada punggungnya. Sementara Galuh dan Coki tampak lebih santai dengan backpack yang lebih ringkes.

"Silahkan istirahat saja dulu, mbah mau hangatkan makanan di belakang untuk kalian. Pasti lapar malam-malam begini.", Mbah Dewo meninggalkan mereka berlima dan Brandon di ruang depan berlalu menuju belakang.

"Oh iya Brand, kenalin nih teman-teman gue", Galuh memecah hening. Memperkenalkan kawan-kawannya pada sepupunya Brandon, "Ini loh.. sepupu gue yang gue ceritain kemaren..", Terlihat Brandon dan empat kawan Galuh saling berjabat tangan menyebutkan nama masing-masing. "Hey Brand..! Jangan lama-lama jabat tangan sama Alya..! Bisa kalap dia nanti.. " Canda Galuh pada Brandon. Mereka berenam bergerak menuju ruang tengah.

Kini mereka sudah berada di ruang tengah, sebuah ruangan yang sangat besar. Pada ujung dinding terlihat lukisan besar dengan ukiran pada bingkainya. Bergambar bukit berwarna biru kehijau-hijauan berselimut langit biru mendung kelam pada ujung-ujungnya. Di tengah ruangan tersebut tertata rapih meja kayu jati selutut dengan ukiran bunga pada kaki dan sisi-sisinya.  Ditambah dengan kursi-kursi berkaki yang membuat kesan klasik. Di sana duduk seorang lelaki.

"hey guys.. kenalkan ini temanku yang aku ajak.. Yat..! ini Galuh sama teman-temannya sudah datang..", Brandon menyapa Hidayat. Seketika  Hidayat  bangkit dan mereka saling berjabat tangan memperkenalkan diri.

"Loh?!? satu lagi mana Brand?!? Katanya bertiga?!?", Tanya Galuh pada Brandon.

"Di luar.. smoking.. sudah biarkan saja.. kita chit-chat saja dulu.. sambil menunggu makanan kalian."

"Kalian dari stasiun naik apa ke sini?!? kok bisa sampai cepat?!?",  Hidayat  membuka percakapan.

"Nah.. itu dia yang membuat kubingung.. kami pikir tadi kami menumpang sama orang suruhan mbah Dewo itu.. Tapi kata mbah Dewo, dia tak suruh sapa-sapa buat jemput kami dari stasiun.. HAH?!? Aneh..!?! Tapi tak apalah.. yang penting kita sampai disini..", Coki membalas pertanyaan  Hidayat sekenanya. Selepas menyimpan tas di lantai samping kursi, ia tampak berkeliling melihat-lihat ruangan. Matanya tampak menyisir setiap sudut ruangan.

"Wow great!! just like us.. old man told us how to get here when we lost.. it's like magic you know?!?", Brandon menimpali

"Dia ngomong apa Al?!?", Bisik Coki pada Alya yang tampak lelah. Tampak masih shock dengan perjalanan tadi.

"Dia bilang mistik!?!", Jawab Alya sekenanya. Alya juga tampak menyimak seluruh ruangan dengan seksama. Sesekali ia menolah pada lukisan seorang pria setengah baya di ujung ruangan. Lukisan potrait seorang pria bertutup kepala dan berjubah yang tampak tersenyum sayu.

"Gue ke belakang dulu ya.. belum sholat isya nih..", Sani membuka tas carriernya dan mengambil sajadah. "tempat sholat ada di belakang kali ya?!?" Tanyanya pada Galuh.

"iya kali... lo coba aja ke belakang.. paling ketemu sama mbah Dewo, tanya aja sama dia", Galuh menjawab tanpa menoleh. Ia tampak sibuk memeriksa barang bawaannya.

"San.. Aku ikut.. Aku mau ke kamar mandi..", Pinta Alya pada Sani. Mereka berdua meninggalkan keempat temannya di ruang tengah menuju bagian belakang vila.

* * *

Buffet jati ukiran kayu tampak klasik menghiasi pembatas ruang tengah dengan ruang makan. Rumah besar ini tampak haus cahaya, serasa remang, hening. Sampai di ruang makan, dalam suasana remang, Alya kaget menahan nafas melihat sosok perempuan di hadapannya. Tangannya langsung menggenggam tangan Sani dan bersembunyi di balik Sani.

"Lo siapa?!?", Sani membuka pertanyaan.

"Dia Nunik anakku..", mbah Dewo tiba-tiba muncul dari belakang membawa bakul berisi nasi panas. Nunik berperawakan biasa, tingginya sekitar 155cm. Kulitnya kuning langsat dengan rambut sebahu. Wajahnya berbentuk bulat lonjong bermata sayu. Sani dan Alya kemudian menjabat tangan Nunik dan berkenalan.

"Kamar mandi di mana mbah?!? Ini Alya mau ke kamar mandi, saya juga mau ikut sholat..", Sani bertanya pada mbah Dewo.

"Sholat bisa di ruang samping sebelah dapur, kamar mandinya itu pintu putih..", mbah Dewo memberi petunjuk. Sani dan Alya pun menuju tempat yang ditunjuk mbah Dewo.

* * *

"Nak Galuh.. Makanan sudah siap.. Mari makan..", mbah Dewo menghampiri Galuh dan yang lainnya di ruang tengah.

Coki tampak sumringah mendengar ucapan mbah Dewo. Dia paling semangat urusan makan. Disusul Galuh, Kurnia,  Hidayat dan Brandon, mereka menuju ruang makan. Pukul 12.30, penunjuk pada jam besar di ruang tengah. Dan mereka baru akan makan malam.

* * *

Sani menggunakan kamar mandi terlebih dahulu, ia hanya buang air kecil dan mengambil wudlu. Alya menunggu di depan pintu. Setelah Sani keluar dari kamar mandi, Alya bergegas masuk ke dalam. Sani dan Alya berpisah Sani menuju ruang samping yang diberitahu mbah Dewo tadi.

Setelah keluar dari kamar mandi, Alya merasa tertarik untuk melongok keluar. Dari kamar mandi menuju pintu samping tidak terlalu jauh, hanya berjarak beberapa meter saja. Pintunya berwarna coklat, dua buah seperti gerbang. Didekatkan tubuh Alya pada pintu tersebut. Tangannya menggenggam gagang pintu dan bersiap membuka.

Pintu sudah terbuka. Di luar gelap. Angin dingin menyibak wajah dan rambut Alya. Ada jalan setapak di sana terdiri dari batu-batu alam yang disusun rapih. Dan berlumut. Matanya menyisir halaman samping tersebut. Di sana ada kursi keyu panjang. Tampak seorang lelaki duduk disana. Mungkin dia Alan. Tiba-tiba bulu kuduk Alya serasa berdiri, dia melihat orang lain disana. Di sebelah Alan. Duduk. Rambutnya panjang tergerai sepinggang.

Alya tak bisa melepaskan pandangannya dari sosok tadi. Dia tampak terhipnotis untuk terus menatap. Tubuhnya seperti kaku dan kakinya berat. Matanya tak berkedip menatap. Sosok tadi tiba-tiba menoleh pada Alya. Terlihat sayup matanya merah menyala. Kulit wajahnya tampak pucat. Dan Alya masih tak bisa bergerak dan terus menatap.

Sosok tadi berdiri dan menghadap Alya sekarang. Terlihat jelas kalau dia itu wanita. Rambutnya awut-awutan tak terurus. Menyeringai pada Alya. Sedetik kemudian ia melayang, terbang dengan cepat menghampiri Alya yang masih terpaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun