Jadi orangtua di era digital sekarang ini tuh gampang-gampang susah. Dibilang gampang, karena untuk mendapatkan informasi soal pertumbuhan anak tuh gampang banget. Tinggal googling nama psikolog anak di Indonesia, cari akun media sosialnya, lalu ikuti. Para pakar ini sangat senang sekali berbagi ilmu dan pengalamannya lewat akun media sosialnya. Contoh akun media sosial yang saya ikuti itu Elly Risman & Family.
Bukan hanya sering berbagi informasi tentang parenting dan keluarga, Elly Risman & Family ini juga sering berbagi latar belakang masalah terkait kasus yang sedang trending sekarang ini. Contohnya saat LGBT marak, Elly Risman & Family justru membahas dari sisi membentengi anak dari pengaruh ini dengan kedekatan antara anak dan kedua orangtuanya. Catat ya, anak dan kedua orangtuanya. Karena menurutnya, anak perlu sosok laki-laki dan sosok perempuan sejati untuk dicontoh.
Itu baru satu contoh serunya jadi orangtua di era digital saat ini. Pokoknya saya selalu berusaha untuk memandang suatu masalah lebih dari satu sudut pandang. Ini salah satu nilai yang diajarkan oleh mamah. Saya baru sadar sekarang kalau keluarga tempat saya tumbuh ini sangat demokratis. Mungkin kelewat demokratis bagi banyak orang. Karena saya selaku anak selalu didengar alasannya saat berkeputusan.
Saya tumbuh dari keluarga dimana ayah adalah seorang pegawai dan mamah adalah seorang ibu rumah tangga tulen. Jadi, masa kecil saya banyak dihabiskan bersama mamah. Jangan tanya pada saya soal Cassandra, Marimar dan Esmeralda. Karena sebelum sekolah dulu, ini tontonan saya bersama mamah. Mungkin karena puas nonton telenovela masa kecil ini membuat saya tidak begitu suka sinetron. Karena ceritanya 11-12 dengan telenovela. Hanya beda settingnya saja.
Tontonan bersama mamah ini tidak terbatas pada telenovela saja, tapi juga acara memasak seperti Resep Oke Rudy dan acara yang dipandu Bu Sisca juga jadi tontonan. Coba, emak-emak 90an mana yang tidak mengenal Rudi Choirudin dan Sisca Soewitomo? Ini acara hits banget. Makanya gara-gara dua acara ini, saya sempat bercita-cita menjadi koki profesional dan bersekolah di sekolah pariwisata di Geger Kalong Bandung. Tapi kandas karena kesukaan saya pada komputer mengalahkan eksperimen masak.
Mamah Pengajar Logika Pertama
Ini yang menjadi modal saya untuk mantap memilih jurusan komputer tanpa disadari. Jurusan Teknik Komputer atau yang sekarang lebih dikenal dengan Teknik Informatika menjadikan logika sebagai dasar kerangka berpikirnya. Dan mamah mengenalkan logika dengan cara yang begitu menyenangkan.
Sama seperti cangkulan, untuk 41 pun demikian. Harus jeli menghitung dan memperkirakan kemunculan kartu dari 52 kartu yang ada. Bukan cuma mengasah logika, bermain kartu saat kecil bersama mamah ini menjadi modal saya untuk bergaul saat SMP. Setidaknya saya jadi disegani di tongkrongan karena mahir bermain ini.
Seperti yang saya sebut, selain bermain kartu, kami juga sering menghabiskan waktu dengan bermain board game. Board game yang kami mainkan antara lain, Ludo, monopoli, ular tangga dan catur. Untuk ular tangga mungkin tidak ada hubungannya dengan logika. Tapi sisanya sangat bermanfaat untuk membentuk logika. Ludo mengajarkan saya untuk memilih pion mana yang harus dijalankan untuk menghambat laju musuh. Monopoli mengajarkan saya untuk menghitung peluang dan memperkirakan risiko yang terjadi saat mengambil keputusan. Dan catur, jelas ini bukan logika, tapi juga strategi.
Sejak kelas 4 SD saya sudah rutin bermain catur bersama mamah. Dan perlu diingat, dari 5 anggota keluarga saya, hanya kakak saya yang perempuan yang tidak bermain catur. Jadi, pulang sekolah saya main dengan mamah. Begitu abang saya pulang, saya main dengan abang saya. Dan saat ayah saya pulang, giliran abang saya yang menantang ayah saya.