Mohon tunggu...
Fahmi Idris
Fahmi Idris Mohon Tunggu... Professional IT - System Analyst -

Introvert, Kinestetik, Feeling Extrovert, System Analyst, Programmer, Gamers, Thinker, Humorous, Dreamer. Web : ghumi.id Instagram : fahmi_gemblonk

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Iwan Setyawan: Kelas Menengah "Ngehe" Bakal Makin Banyak

18 Desember 2015   00:42 Diperbarui: 20 Desember 2015   20:47 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Anjrit, 5 menit lagi”

Begitu yang dilontarkan Iwan Setyawan di sela-sela presentasinya. Dalam acara Kompasiana Nangkring bersama JNE pada Jumat 11 Desember 2015. Pada acara ini, Iwan selaku CEO dari Provetic dengan gamang dan lugas memaparkan tentang kehidupan social media terkini.

Sebelum masuk ke soal sosial media, Iwan mengingatkan bahwa saat ini Indonesia sedang bersiap-siap untuk menghadapi ledakan demografi kelas pekerja yang dahsyat. Ledakan demografi  kelas pekerja ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun juga secara global, dimana 30%-nya ada di China, India dan Indonesia. Pertumbuhan dahsyat kelas pekerja ini tentu akan meningkatkan kelas menengah secara global.

“Bakal makin banyak kelas menengah ngehe’ nih nanti”, kata Iwan.

Efek dari meningkatnya kelas menengah secara global, tentu akan menyumbangkan milyaran konsumen anyar secara global. Dengan meningkatnya konsumen, artinya pasar semakin terbuka luas. Indonesia sudah jadi sasaran market kelas dunia. Jadi jangan heran kalau banyak brand-brand besar sudah buka cabang di sini.

Dengan meningkatnya kelas menengah, maka gaya hidup juga akan meningkat. Salah satunya penggunaan internet. Jangan heran jika beberapa tahun belakangan ini penggunaan internet begitu signifikan. Dan orang Indonesia termasuk paling cerewet di sosial media. Untuk pengguna paling cerewet di Twitter, Indonesia berada pada urutan ke 5. Sementara jika dirunut berdasarkan kota, Jakarta justru berada di posisi wahid mengalahkan Tokyo dan London.

Menurut Iwan, sedikitnya ada 3 hal yang paling sering diributkan oleh pengguna social media di Indonesia. Yang pertama soal brand besar, “orang-orang kita tuh ya hype banget kalau udah pamer di toko ZARA, UNIQLO, H&M dan lain-lain. Pokoknya enggak keren kalau belum pamer sama brand-brand gede. Miris sih emang, kenapa enggak ada clothing line dari Indonesia, satu aja yang gede yang dipamerin.”

Yang kedua soal hidup sehat. Zaman dulu kalau mau lari, kita Cuma pemanasan, terus lari. Zaman sekarang beda lagi, pemanasan pake jempol. Update status dulu, selfie dulu, upload dulu, baru lari. Tapi sambil lari juga kadang sambil narsis dan upload ke social media. Positifnya, gaya hidup sehat yang viral di social media ini membentuk generasi yang sehat pula. Dan tentu saja dimanfaatkan oleh brand-brand besar untuk mengadakan even healthy life semodel lari 5k, 10k, 21k, bahkan 42k.

Yang terakhir dan kayaknya yang paling yahud adalah trend mengenai kuliner dan jalan-jalan. Dua tema ini enggak pernah ada matinya. Semua berbau dua hal ini pasti diburu dan dengan mudah dipamerkan. Ingat, sebelum makan foto dulu.

Lihat bagan di atas, ini adalah gambaran apa yang terjadi di social media dalam satu menit. Perhatikan berapa juta data yang terbentuk dari gaya hidup sekarang ini. Perputaran data di dunia online sangat cepat dan sangat besar.

Iwan meramalkan, pada tahun 2020 Indonesia akan hidup di dunia digital. Dimana nanti kita sudah sangat familiar dengan digital banking yang dipicu oleh e-commerce. Selain itu, kita juga akan sangat familiar dengan mobile e-commerce. Orang sudah tidak kaku lagi bertransaksi  online. Peran sosial media juga akan semakin penting, karena digunakan sebagai sarana untuk mengeluarkan unek-unek soal brand, review dan lain-lain. Kedepannya pula, youtube akan lebih banyak dilihat ketimbang televisi.

Kedepannya, apakah kita akan menjadi penonton saja atau akan menjadi pemain?  Kira-kira seperti itu kekhawatiran Iwan. Menurutnya, jika kondisi seperti sekarang ini dibiarkan terjadi maka Indonesia hanya akan jadi bebek dan mudah terbawa arus pasar global.

Pada kesempatan ini Iwan mengingatkan pada Ricky Pesik yang merupakan Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif yang juga hadir untuk meniru langkah dari pemerintah Korea Selatan. Mungkin 20 tahun lalu kita tidak kenal apa itu Korean Culture. Sekarang, menjamur sekali restoran-restoran korea lengkap dengan kimchi-nya.

Ada dua hal yang disampaikan Iwan untuk menumbuhkan industry kreatif pada era digital ini. Pertama, Badan Ekonomi Kreatif harus menciptakan regulasi-regulasi yang tentu saja merangsang daya inovasi masyarakat. Harus didukung dengan kebijakan. Sehingga gairah untuk berinovasi semakin kentara dan membudaya.

Yang kedua soal iklim kreatif. Menciptakan iklim dan lingkungan kreatif tentu tidaklah mudah. BE KRAFT perlu merangkul banyak elemen untuk bisa menjaga dan menumbuhkan ide-ide kreatif. BE KRAFT juga perlu merangkul kementrian-kementrian terkait, elemen-elemen masyarakat dan tentu saja legislative untuk meloloskan peraturan.

Ingat, pemerintah harus mendukung. Tanpa dukungan pemerintah, industri kreatif hanya sebatas wacana. Setidaknya kita harus berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun