Mohon tunggu...
Fahmi Idris
Fahmi Idris Mohon Tunggu... Professional IT - System Analyst -

Introvert, Kinestetik, Feeling Extrovert, System Analyst, Programmer, Gamers, Thinker, Humorous, Dreamer. Web : ghumi.id Instagram : fahmi_gemblonk

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penggenggam Jasad: Bidan Sekar Berkubur

9 Agustus 2012   14:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:02 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya :

Namun kejadian sadis itu belum selesai. Dengan sabit yang sama, mbah Dewo merobek bagian dada Delima dan mengambil jantungnya dengan cara yang amat brutal. Alya yang menyaksikan itu dari jarak yang sangat dekat hanya mampu menangis sesenggukan. Alya seperti sedang menonton sebuah pertunjukkan film thriller. Mayat Delima pun ditinggalkan tanpa belas kasih. Mbah Dewo pulang dengan senyum yang sangat menjijikkan sambil menenteng jantung Delima yang masih meneteskan darah segar.

Bidan Sekar Berkubur

“Brandon! Lo liat apa? Cepetan turunnya Yat!”

“Iya.. Iya..”

Sani yang paling terakhir turun masuk ke dalam goa. Remang temaram di dalam sini. Cahaya lampu senter yang digenggam Brandon tidak membantu melihat yang ada di dalam goa.

“Come here guys! See this!”, Dengan tanpa menoleh pada Sani dah Hidayat. Panggilan Brandon diikuti kedatangan Sani dan Hidayat. “Lihat ini!”

“Meja?”

“Bukan lihat mejanya, tapi lihat bentuknya, lihat benda lain yang ada di depannya. Ini seperti tempat upacara. Meja ini malah tidak terlihat seperti meja, ini seperti tempat persembahan.”

“See on that corner!”

“Seperti ada benda yang lama tersimpan di sana.”

“Kalian dengar itu?!?”

“Apa?”

“It’s like Galuh. Come from that way. Come on guys we must found her!”, Setengah berlari Brandon, Hidayat dan Sani menuju sumber suara. Melewati lorong goa gelap dengan dinding tanah.

# # #

Pagi ini terasa begitu hangat, setidaknya itu yang dirasakan oleh Alya. Ia berada pada sisi jalan, berdiri di atas tanah dengan tetumbuhan halus yang masih basah karena embun. Tepat di seberang jalan, Alya melihat tiga orang berjalan berpapasan. Dua orang dari arah kiri mengenakan kain dan kebaya lusuh membawa bakul dan sabit. Sementara dari arah berlawanan seorang wanita muda berpakaian putih bersih.

“Selamat pagi bu Sekar”

“Selamat pagi bu, waaah sudah mau ke sawah pagi-pagi begini?”

“Iya bu. Ibu Sekar sudah mau ke puskesmas?”

“Iya.. Siang ini akan ada kiriman obat dari kota yang harus saya periksa. Mari bu, saya harus siapkan meja dan etalase untuk tempat obat nanti”, Sekar tersenyum meninggalkan dua ibu tadi.

“bejo kampung iki, seko ono bu bidan kampung awak dewe dadi aman" (Beruntung ya kampung kita ini. Semenjak ada bu bidan Sekar, kampung kita jadi lebih terjaga)

"inggih, nggak ono meneh sing diare, wingi kae si Tole mung butuh waktu 3 dino nggo sembuh seko diare, ora koyo sing lawas butuh waktu 3 minggu. kayak'e awak dewe ora butuh mbok Jumi meneh nggo lahiran “ (Iya, tidak ada lagi diare. Kemaren saja si Thole hanya butuh tiga hari untuk sembuh dari diare. Tidak seperti sebelumnya, butuh waktu dua minggu. Mungkin kita tidak perlu lagi Mbok Jumi untuk proses melahirkan)

Mendengar percakapan tersebut, Alya seperti tergerak untuk mengikuti langkah Bidan Sekar yang tampak mulai menjauh. Ia berjalan cepat mengikutinya.

* * *

Puskesmas ini tidak besar, pada bagian depan terdapat empat tiang kayu lusuh. Bagian dalamnya terdapat tiga ruangan. Satu ruangan yang panjang dengan dua kursi panjang selurus dinding berwarna putih yang mungkin dijadikan ruang tunggu. Satu ruangan sebelah barat yang berisi tiga buah rak, sebuah meja dan tiga buah kursi yang mungkin dijadikan sebagai tempat obat.

Setelah puas menatap sekeliling, Alya mengikuti Bidan Sekar masuk ke dalam ruangan di ujung kiri. ‘Mungkin ini ruang periksa’, gumamnya

Alya sudah berada di dalam ruangan tempat Bidan Sekar. Di sini ia melihat atribut yang hamper sama pada ruangan seberang, tiga buah kursi dengan sebuah meja. Hanya jumlah rak saja yang membedakan. Di ruangan ini hanya ada sebuah rak seukuran pinggang orang dewasa.

“BU BIDAAAAAAN… BU BIDAAAAAAN….”, Terdengar suara perempuan bereteriak dari halaman depan Puskesmas. Sekar yang belum duduk, langsung bergegas ke luar.

“Ada apa bu Jum?”

“Tolong anak saya.. Anak saya demam. Dia di rumah. Tolong bu..”

“Tunggu sebentar, saya ke dalam dulu ambil perlengkapan.”, Sekar bergegas kembali ke dalam, tas di atas meja segera disambar. Dengan tambahan tas dari dalam rak berwarna krem.

Mereka berdua kemudian meninggalkan Puskesmas. Alya mengikuti dari belakang.

* * *

“Obatnya tolong diminumkan pada Slamet ya. Jangan lupa, tiga kali sehari sesudah makan. Makannya juga tolong dijaga, kalau Slamet menolak, paksa saja. Jangan sampai perutnya kosong.”

“Iya Bu Sekar, terimakasih.”

Sekar kemudian pamit pada mereka dan kembali ke Puskesmas. Meninggalkan rumah bilik bambu milik Juminten.

* * *

Bidan Sekar berjalan dengan sangat tenang menuju Puskesmas. Melalui jalan setapak yang masih rimbun pada sisi kanan dan kiri. Ia tampak sesekali menyeka keringat di dahi dengan sapu tangan yang diambil dari saku baju.

“Bu Bidan… Syukurlah saya bertemu Ibu di sini.”

“Tolong istri saya bu. Dia ora sadarkan diri di sawah. Tadi saya pindahkan dan saya tinggalkan di saung sawah di sana. Tolong lah bu.”

‘Mbah Dewo?!? Jangan-jangan Sekar ini adalah korban ke tiga!?!’, Alya bergumam.

“Mari kita ke sana Pak”

“Tolong ikuti saya Bu.”

* * *

Mereka kini sudah berada di tengah-tengah persawahan yang luas. Jauh diujung sana terdapat saung dengan atap daun kelapa kering.

“Di sana Bu. Mari bu cepat.”

“Mana? Saya tidak melihat siapa-siapa di sini?”, Sekar bertanya setelah sampai pada Pak Dewo.

“Memang tidak ada siapa-siapa di sini. Kamulah pasienku.”, Dengan kuat Dewo menghantam tengkuk Sekar. Darah merah keluar, Sekar tak sadarkan diri.

Dengan cepat Dewo memposisikan tubuh Sekar yang tak sadarkan diri pada posisi terlentang. Dilucuti seluruh pakaiannya yang putih bernoda darah. Kedua tangannya direntangkan jauh-jauh kemudian diikat pada ujung-ujung tiang saung. Kedua kakinya pun direntangkan dan diikat pada tiang seberangnya.

e hamblaan suna ka' se yeti apa einan an suna banyak

suna i sunati asunan enye ahkan da ah se a   yetise ta nyawa

yeti ilah ke sunaatan yeti ilah kekujilaan

ka o suna undhak ka o suna

Setelah membaca mantra, Dewo menusukkan celuritnya pada bagian vital Sekar. Merobeknya, kemudian merobek dadanya dengan celurit yang sama pada bagian dada.

“Aku akan kaya raya sebentar lagi”, Dewo setengah bereriak. Sementara Alya yang melihat kejadian sadis tersebut hanya menutup mata.

* * *

Esok pagi, warga dibuat heboh karena penemuan jasad tak bernyawa di ladang.

[caption id="attachment_192178" align="aligncenter" width="480" caption="ytimg.com"][/caption]

# # #

Getaran-getaran dinding goa terasa semakin kencang. Alan dan Galuh dengan berat kaki memaksakan diri untuk berlari meninggalkan ruangan tersebut. Mereka bergandengan berusaha meninggalkan ruangan tersebut. Galuh terlihat kepayahan berjalan cepat mengikuti Alan di depan. Mereka berdua melewati dinding-dinding gelap. Mereka berlari sambil berteriak-teriak.

Di ujung sana terlihat ada titik cahaya. Mereka menuju ke sana. Berharap segera keluar dari dalam goa ini. “Ayo cepat Galuh..”, Alan menoleh pada Galuh.

BUK - Mereka menabrak sesuatu.

bersambung…

[1]Rencana Liburan[2]Keberangkatan ke Yogyakarta [3]Malam Pertama [4]Kotak Cincin [5]Hari Pertama [6]Tersasar di Hutan [7]Kilatan Kejadian [8]Ternyata Nunik? [9]Tempat Rahasia [10]Misteri dalam Selembar Foto Usang [11]Pencarian [12]Wanita Berkebaya Merah [13]Lelayu Ayu [14]Jantung 12 Perawan

KOLAMI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun