Oleh:Gembel Bersuara
Magrib kemarin,
Puisiku lahir tak berjanin
Dari rahim yatim
intim iklim pada musim
Desah gelisah zaman beragam susah
Puisi lahir tak mesti berbadan dan berbidan
Biarkan kucing mengeong
mencakar bulu induknya
Tak perlu kafan, sebab puisi abadi
Tak akan mati meski dikebiri
Tak akan redam meski dibungkam
Tetap tajam meski terancam
Puisi abadi meski penulisnya mati
Puisiku memang telah memilih tempatnya sendiri;
Bukan pada bau basi kopi tadi pagi
Bukan di bibir senja yang manja
Bukan juga pada kelamin rindu
yang kerap onani di kecilnya arti cinta.
Puisi telah menemukan tempatnya;
tumpukan sumpah sampah
Lorong-lorong dubius tak terurus
muka belia yang teraniaya, kerat-kerat arak berserak dan perut-perut lapar terkapar
Di sana puisiku diam bersemayam.
Barangkali kau telah bosan,
Puisiku memang takkan pernah
melontarkanmu pada bibir senja, lautan kopi, dan akan bermuara pada kelamin rindu yang tak tahu arti cinta.
Sebab;
Puisiku bukan puisi
melainkan jerit sakit marjinal yang dicekik etnik-etnik licik
Puisiku bukan puisi
Tetapi pekik-pekik radiks terampas hak milik
Puisiku bukan puisi
Melainkan, lirih sedih umat dilumat kodrat
Puisiku bukan puisi
Melainkan desah-desah muncikari ditindih konstruksi materi.
Puisiku adalah payung peneduh
tubuh-tubuh luruh beribu piatu,
Selimut hangat para derita.
Dan dalam gelap
kita sama-sama tersesat
sambil berpelukan di gumam doa tengah malam.
Puisiku, bukan puisi
Hanya cermin usang tersisa pantulan kebohongan yang tetap kebohongan, dan kebenaran tetap kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H