Menjijikan! , ya mungkin kata itulah yang kiranya mampu mewakili proses pelaksanaan Pemilwa di tingkat Fakultas. Alih - alih memberikan pendidikan politik yang baik secara jujur dan adil bagi calon penerus bangsa tetapi fakta di lapangan berbicara berbeda. Kami para mahasiswa, disuguhkan dengan kekompakan bayi - bayi tikus mengeksekusi target yang telah direncanakan dengan matang sebelumnya. Sebagai calon generasi penerus bangsa, seharusnya mereka malu dengan apa yang telah diperbuat. Dimana drama ini diawali oleh tertukarnya nomor urut pasangan secara tak sengaja, dengan dalih percetakan yang salah mencetak.
Dalam hal ini jika dikaji dengan nalar, ketika terdapat proyek pencetakan dalam jumlah besar, maka seharusnya pada cetakan pertama pastilah ada pengkoreksian hasil, dimana hal ini dimaksudkan untuk memverifikasi hasil cetakan, sehingga apabila ada kekeliruan dari pihak percetakan, bisa langsung dilakukan revisian. Dalam drama awal ini, kiranya mampu diredam dengan baik oleh pihak yang terkait. Belum puas dengan target awal, para bayi tikus ini berusaha mencoba eksperimen mereka yang kedua.
Ketika jalannya proses pencoblosan suara, eksperimen asap khas anak muda mulai dikeluarkan. Dengan membagikan lintingan pembolong leher itu, mereka mulai beraksi dengan meniupkan eksperimen asapnya. Tidak cukup disitu, rupanya memang betul jika ada anggapan "tikus lihai mencari celah untuk masuk mencari kesempatan", pada praktiknya bayi - bayi tikus ini dengan mudah mencari celah untuk ikut berdesak - desakan mencari peluang, sambil tidak lupa untuk bereksperimen dengan asapnya. Hasilnya?
Ruangan tempat mengantri pencoblosan tak ubahnya seperti kamar gas ala Nazi, dengan massa yang besar, dan asap yang timbul dimana-mana menyebabkan para pencoblos merasa terganggu dan pusing. (anggapan lucu dari saya menyebutkan bahwa sekilas rencana mereka ini memang didesain ala tragedi Holocaust Nazi) ditambah lagi dengan suara teriakan-teriakan yang tak jelas rimbanya seperti orang yang kehilangan nilai luhur dari orang tuanya. Dengan situasi seperti itu, tujuannya tak lain adalah membubarkan para pencoblos yang jujur dari mahasiswa dan perlahan memasukkan bayi - bayi tikus lain untuk mencari kesempatan dalam ruang tersebut.
Dalam drama kedua ini, mereka cukup rapi menjalankan setiap scene yang telah dirancang sebelumnya. Dan akhirnya yang terjadi, banyak antrian dari mahasiswa yang akhirnya mengular hingga ke ujung pintu syariah. Hal ini mengakibatkan jangka waktu yang lama, sehingga hasilnya dapat ditebak. Mahasiswa lain yang seharusnya mencoblos, tidak mendapatkan kesempatan itu. Drama terbaik disuguhkan di akhir scene, dimana bayi-bayi tikus terbaik mereka (yang sengaja ditempatkan di balik layar) telah keluar, untuk berteriak lantang bahwa drama segera ditutup. Melihat drama tersebut, teringat sepenggal lirik lagu tikus kantor dari Iwan Fals, yang berbunyi : "Memang sial sang tikus teramat pintar Atau mungkin sikucing yang kurang Ditatar ! "
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H