Mohon tunggu...
Gema Eka Adi Pamungkas
Gema Eka Adi Pamungkas Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pembimbing Kemasyarakatan

Semua bukan masalah bisa atau tidak bisa, tetapi mau atau tidak mau untuk mencapai yang diinginkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sisyphus Sang "Agen Perubahan"

1 November 2024   14:41 Diperbarui: 1 November 2024   15:06 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sisyphus dalam mitologi Yunani menjadi simbol perjuangan tak berujung yang, bagi sebagian orang, mungkin terlihat tanpa makna. Akan tetapi, Albert Camus, filsuf eksistensialis Prancis, melihat Sisyphus dari perspektif yang berbeda: bukan sekadar hukuman, namun sebuah simbol keteguhan dan penerimaan. Dalam bukunya The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan Sisyphus sebagai "pahlawan absurd" --- sosok yang tahu bahwa tugasnya akan selalu gagal, namun tetap melakukannya dengan kesadaran penuh. Alih-alih mengutuk keadaannya, Sisyphus justru merangkul kemustahilan dari tugasnya dan menemui kebahagiaan dalam ketidakpastian yang berulang.

Camus mengajukan pandangan bahwa Sisyphus sebenarnya "bahagia" dalam tugasnya yang tidak berarti, dan ini menjadi perumpamaan bagi kita yang menjalani hidup di tengah kebosanan atau keterbatasan. Dengan menerima absurditas tugasnya, Sisyphus memberikan kita contoh bahwa seseorang dapat tetap teguh bahkan ketika segala sesuatu tampak tak bermakna. Dalam terjemahan Camus, Sisyphus adalah metafora bagi manusia yang hidup dengan tantangan modern: mencari makna dalam ketidakpastian, merangkul kebosanan, dan tetap berjuang.

Di dunia nyata, khususnya bagi aparatur sipil negara (ASN) yang seringkali berjuang di tengah birokrasi, cerita Sisyphus ini bisa menjadi sangat relevan. Banyak ASN yang menemukan tantangan serupa dalam pekerjaan mereka. Ada program-program yang diluncurkan dengan penuh semangat, namun ketika pemerintahan berganti atau terjadi perubahan dalam kebijakan, program yang sudah dibangun terpaksa dihentikan atau bahkan dihapus. Mereka yang awalnya memiliki visi besar dan niat tulus untuk mengabdi bisa merasakan kekecewaan mendalam saat upaya mereka tidak mendapat dukungan atau justru ditinggalkan.

Dalam kondisi tersebut, ada ASN yang mengembangkan apa yang kini dikenal dengan istilah "Quiet Quitting," yaitu keadaan di mana seorang pekerja tetap menjalankan tugas, namun hanya sebatas memenuhi kewajiban tanpa ambisi besar atau upaya tambahan. Dalam Quiet Quitting, mereka memilih untuk bertahan dalam pekerjaan namun menghindari keterlibatan lebih jauh, agar dapat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kesehatan mental.

Namun, dengan inspirasi dari kisah Sisyphus, para aparatur negara bisa melihat diri mereka sebagai agen perubahan yang tetap tegar di tengah kegagalan atau tantangan yang seolah tak berujung. Meskipun tugas mereka tampak seperti "menggulung batu ke puncak bukit yang akan jatuh kembali," kesadaran bahwa usaha mereka memberikan dampak pada level individu dan komunitas bisa menjadi motivasi tersendiri.

Mengutip Camus, "Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia." Mungkin, para ASN juga dapat menemukan kebahagiaan dalam setiap langkah kecil yang berdampak bagi masyarakat, meski tantangan tak pernah hilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun