Mohon tunggu...
Gema Bayu Samudra
Gema Bayu Samudra Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Hukum

Sarjana Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korban Perdagangan Orang oleh Korporasi

6 Agustus 2021   11:22 Diperbarui: 6 Agustus 2021   11:40 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: news.cgtn.com

Zaman sekarang perkembangan korporasi-korporasi tak dapat lagi dibendung. Semenjak era reformasi pembaruan terhadap undang-undang dilakukan dan berdampak pada kebebasan masyarakat dalam hal mencari keuntungan lewat korporasi. Bidang Korporasi biasanya bergerak dalam hal yang luas, seperti perpajakan, lingkungan hidup, ekonomi dan terkait dengan korupsi suatu korporasi.

Korporasi begitu dekat dengan masyarakat, tak dapat dielakkan bahwa ternyata korporasi dapat menimbulkan dampak negatif yang begitu luas. Terhadap hal tersebut beberapa undang-undang mengatur tentang korporasi sebagai subjek hukum. Berawal dari disahkannya Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang memperkenankan korporasi dijatuhi pidana, pada Pasal 7 huruf b yang menyebutkan : penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan siterhukum, di mana tindak-pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya satu tahun.

Berangkat dari korporasi sebagai subjek hukum, maka di beberapa undang-undang terkait menjelaskan adanya suatu kegiatan kejahatan yang dilakukan korporasi/tindak pidana korporasi. Seperti halnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Korporasi yang begitu terorganisir dan terstruktur membuat para penyelidik sukar untuk mengungkap tindak pidananya. Hasil sebuah kejahatan dari korporasi yang berdampak luas tersebut dapat menimbulkan korban kejahatan korporasi. Seperti hasil kejahatan perdagangan orang, pengertian Tindak Pidana Perdagangan orang (TPPO) pada Pasal 1 ayat (1) : Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

TPPO juga mengklasifikasi korporasi sebagai subjek hukum. Di Indonesia perdagangan orang sangatlah rentan, dilihat dari aspek regulasinya yang diatur dalam KUHP, yang dianggap telah usang, yang tidak bisa menjangkau kejahatan perdagangan orang serumit sekarang. Karena pada era sekarang perdagangan orang melibatkan beberapa negara, cakupan wilayahnya yang luas, serta dengan kemajuan teknologi yang membuat sarana dalam menunjang perdagangan orang kian mudah. Perlindungan terhadap korban perdagangan orang kian penting karena banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya fakta dari International Organization for Migration pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014, bahwa jumlah Human Trafficking di Indonesia yang terjadi mencapai 6.651 orang dan terus terjadi sampai sekarang, jumlah ini paling besar di antara negara-negara lain.

Berkaitan dengan korban TPPO yang dilakukan korporasi, perbedaan antara TPPO oleh korporasi dan TPPO yang dilakukan oleh individu hanya sebatas kerumitan penyelesaiannya, karena korporasi sendiri yang terorganisir/terstruktur ditambah dengan korban yang ditimbulkan lebih banyak. Melihat kejahatan yang dilakukan korporasi yang sukar untuk diungkap membawa pandangan bahwa keadilan harus lebih memperhatikan dampak yang dilakukan korporasi, ialah korban perdagangan orang. Adanya pandangan tersebut keadilan sekarang tidak menitikberatkan kepada sanksi yang diberikan korporasi namun lebih mengedepankan keadilan yang dirasakan oleh korban. 

Perlindungan terhadap korban wajib dilakukan sehingga dalam menanggulanginya harus ditangani oleh semua pihak, terlebih lagi oleh para penegak hukum terkait, seperti polisi, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), advokat dan hakim. Kata "perlindungan" terhadap korban TPPO sangatlah luas, mulai dari sebelum atau setelah terjadinya TPPO, bentuk tindakannya mulai dari pencegahan, pemberantasan, ataupun penanggulangan korban, kata "korban" sendiri identik dengan setelah terjadinya TPPO. 

Dalam hal ini ditekankan bahwa kepolisian ataupun lembaga terkait berfungsi melakukan perlindungan dalam bentuk tindakan pencegahan ataupun pemberantasan terhadap terjadinya TPPO, perlindungan yang dimaksud sesuai dengan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik. Para penegak hukum melakukan fungsinya berdasarkan kapasitas yang dimiliki, yang secara etika dan undang-undang melakukan perlindungan korban TPPO dalam bentuk pencegahan sampai menanggulangi korban melalui ganti rugi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun