Sejatinya manusia sebagai mahluk sosial tak dapat melepaskan diri dari gesekan psikis dan non psikis yang boleh berimpact positive namun tak pernah menutup kemungkinan untk menjadi negative. Yang bisa kita pelajari dan kita selalu pelajari dari hal ini adalah tidak semua orang bisa nyaman dalam kondisi menerima gesekan ini. Kehidupan sosial yang semakin plural hari demi hari mampu menciptakan ruang pergeseran psikologi kebatinan yang berbeda dari hari ke hari berikutnya.
Menarik mencermati sebuah permintaan maaf dari bapak Joko Widodo pada saat Zikir dan Doa Kebangsaan menjelang HUT ke-79 RI di halaman Istana Merdeka, Kamis (1/8) malam. Sebuah kebesaran hati dari seorang pemimpin yang menelan semua pahitnya hujatan dan juga ketidak puasan yang terus menerus menemani beliau selama 2 periode kepimpinannya.
Bagi semua rakyat yang berseberangan dengan beliau selama 2 tahun ini memaafkan dan melupakan tentu dua hal yang berbeda. Bagi mereka yang tak sepaham selama ini bukan sekedar hanya meminta maaf namun bagaimana "dosa" beliau diperbaiki yang akan menjadi utang untuk dibayar di periode berikutnya bisa "lunas". Namun penulis yakin saat kita melihat tayangan permintaan maaf beliau sebagai mahluk yang memiliki kondisi spiritual yang memadai akan memaafkan beliau, terlepas dari apapun alasan memberikan memaafkan itu. Yang penting kita memaafkan beliau.
Melupakan sebuah kondisi psikis logic didalam neuron otak kita yang tak bisa kita sentuh dengan perasaan. Keadaanya sangat sensitive dengan loncatan-loncatan memori yang begitu cepat dan terkoneksi dengan rangkaian sirkuit terumit yang pernah diciptakan.
Menelusuri kondisi memaafkan tentu berbeda,apatah lagi jika kita memiliki spiritualisme yang tumbuh dan berkembang dari kearifan yang diajarkan secara turun temurun dari orang tua kita, akan begitu banyak hal dan wejangan yang mengajarkan kita untuk memaafkan. Mencoba berdamai dengan keadaan hati yang berseberangan antara dendam dan sakit yang berkonfrontasi secara lengkap, menuntun kita secara berbesar hati "memenangkan" perasaan berperikemanusiaan yang condong untuk memaafkan.
Kita bisa belajar dari kisah Nabi Muhammad disaat-saat akhir usia manusia mulia ini dalam sebuah kesempatan menanyakan apakah ada orang atau sahabat yang saat ini pernah saya sakiti, jika ya maka saat ini silahkan melakukan pembalasan. Maka berdirilah seorang sahabat mengiyakan untuk membalas perbuatan Nabi. Nabi kemudian bertanya kondisi apa yang menyebabkan dia ingin membalas?, dia pun menjawab pernah terkena cambuk yang diayunkan Nabi.Â
Maka diutuslah Bilal untuk mengambil cambuk yang sama. Melihat kondisi ini semua sahabat dekat ingin menggantikannya, keluarga sedarah beliau pun juga ingin menggantikannya, namun dengan tenang dan penuh kebesaran hati beliau berucap, "ini adalah urusan ku dengan dia".Â
Maka mendekatlah sahabat tadi untuk membuat kondisi seri, 1-1 dengan pertahanan terbuka tanpa perlawanan apa-apa.Namun yang tak disangka oleh semua orang ditempat itu, sang "pendendam" melemparkan cambuk dan kemudian memeluk tubuh Nabi.Dari kisah umat muslim ini kita mampu melihat sebuah sakit didalam pikiran yang belum mampu dilupakan oleh sang pendendam tadi mampu digugurkan oleh sebuah keikhlasan memaafkan dan tergugah dengan kebesaran hati seorang Nabi menerima perlakuan yang sama.
Lalu bagaimana kita seharusnya bersikap atau lebih tepatnya memprediksi kondisi ini?
Penulis teringat dengan sahabat penulis yang sudah menapaki dunia yang berbeda saat ini, "bersiaplah dengan segala kemungkinan terburuk" selalu memiliki sense of hate from behind menjadi hal yang mungkin dapat dipelajari secara perlahan. Berdamailah untuk tak dilupakan, karena sakit dihati tak mudah dilepaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H