Kali ini kita akan kembali membahas tentang warisan, yang mungkin banyak orang merasa bahagia pada saat menerima harta warisan. Namun tidak hanya kebahagiaan yang timbul saat menerima harta warisan, namun jika salah mengelola, bertindak dan mengambil keputusan juga akan berakibat rumit dengan hukum. Hal ini lantaran kemarin ada seorang janda berusia 60 tahun yang ingin menjual sebidang tanah yang sejak dibeli sudah bersertifikat atas nama sendiri. Dimana suami sudah meninggal beberapa tahun lalu setelah pembelian tanah tersebut, yang kemudian jadi pertanyaan bagi janda tersebut adalah apakah harus meminta persetujuan dan ijin dari anak-anaknya untuk dapat menjual tanah tersebut.
Perlu diketahui bahwa sertifikat tanah yang atas nama si Ibu Tersebut tidak langsung menjadikan tanah tersebut milik si ibu sendiri. Hal ini harus kita cermati apakah tanah tersebut merupakan harta bawaan atau merupakan harta Bersama. Apabilan tanah tersebut merupakan harta bawaan si ibu, maka si ibu berhak untuk menjual tanah tersebut tanpa persetujuan anak-anaknya, karena tanah tersebut tidak termasuk kedalam harta Bersama yang setengahnya harus dibagikan kepada ahli waris pada saat suaminya meninggal. Aturan tentang harta Bersama dan Bawaan dapat dilihat pada pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Akan tetapi jika tanah tersebut merupakan harta Bersama, maka pada saat suaminya meninggal dunia, maka anak-anak dari perkawinan tersebut memiliki ha katas bagian ayahnya dalam harta Bersama sebagai warisan dari ayah. Jika dalam hal ini pemilik tanah adalah si ibu dan para ahli waris, maka perlu disertakan juga surat keterangan mewaris (bagi WNI penduduk asli) atau akta keterangan hak mewaris (bagi WNI keturunan Tionghoa) atau Fatwa Waris (bagi WNI yang beragama Islam) sebagaimana Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997. Hal ini untuk membuktikan siapa saja yang berhak sebagai pemilik atas tanah tersebut dan yang harus memberikan persetujuan untuk menjual tanah tersebut, serta persetujuan para ahli waris atas penjualan tanah waris tersebut.
Jika sebagian dari tanah adalah harta Bersama, maka jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT, maka ahli waris tersebut dapat membuat surat persetujuan dibawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
 Terkadang sering kita jumpai terdapat sengketa waris dalam sebuah keluarga, hal ini terjadi lantaran kurang adanya pemahaman terkait mekanisme pengelolaan dan langkah apa yang harus ditempuh pada saat terjadi persoalan hukum. jika terjadi sengketa waris, selayaknya harus diupayakan dapat diselesaikan secara baik tanpa meninggalkan persoalan hukum lainnya, karena yang bersangkutan atau para pihak adalah saudara sendiri. Saat ini masyarakat memiliki banyak kemudahan untuk dapat mengakses informasi terkait hukum, hal ini supaya menambah wawasan dan jiwa sadar hukum bagi masyarakat. Bahkan jika merasa kebingungan dengan persoalan hukum saat ini terdapat kemudahan dengan konsultasi online dengan para ahli hukum yang memiliki banyak keahlian tidak terkecuali dengan keahlian waris.
Semoga artikel ini bisa membantu dan bermanfaat bagi kita semua, Amin (GP)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI