JAKARTA-GEMPOL, Pengujian UU Pemilu terkait PT di Mahkamah Konstitusi memang alot sekali. Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa dan memutus permohonan uji materiil.
Menyatakan Pasal 208 sepanjang frasa "secara nasional" UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Menyatakan penjelasan Pasal 208 sepanjang frasa" jumlah suara sah secara nasional adalah hasil penghitungan untuk suara DPR" UUNomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca:
Yang dimaksud dengan "jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota" adalah hasil penghitungan untuk suara DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Putusan MK soal ambang batas 3,5 persen berlaku nasional tidak mendorong konsolidasi demokrasi. Putusan itu membiarkan kompleksitas multipartai terpelihara, sehingga terkotak-kotaknya masyarakat kepada banyak parpol masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama. Sebagai parpol yang ikut memutuskan UU Pemilu, PPP sangat menyesalkan putusan itu.
Seluruh parpol memiliki kursi di DPR ataukah tidak, mesti mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2014. PT sebesar 3,5 persen dinyatakan hanya berlaku untuk pemilu anggota DPR, sementara tak ada PT untuk pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Mahkamah Konstitusi memutuskan tidak berlakunya parliamentary threshold sebesar 3,5 persen yang berlaku secara nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 208.
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa jika PT 3,5 persen diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5 persen untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka dapat menimbulkan kemungkinan tidak adanya satu partai politik peserta pemilu pun di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5 persen sehingga tidak ada satu anggota partai politik pun yang dapat menduduki kursi DPRD.
Hal ini dapat terjadi jika diasumsikan partai politik peserta pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap partai politik peserta pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3 persen suara.
Penerapan PT dalam sistem pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota parpol yang sudah lolos pada perolehan suara pada pemilu legislatif, tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen akibat berlakunya ambang batas.
Ambang batas perwakilan (parliamentary threshold) merupakan salah satu instrumen teknis Pemilu yang ditemui di negara-negara yang menggunakan sistem Pemilu proporsional.