JAKARTA-GEMPOL, Setelah beberapa tahun masalah sengketa pilkada ditangani oleh MK (Mahkamah Konstitusi) maka pemerintah berkeinginan untuk di kembalikan ke MA (Mahkamah Agung).
Padahal sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa perolehan suara dan penetapan kepala daerah ditangani MK.
Pihak Mahkamah Konstitusi mempersilakan jika kewenangan penanganan sengketa pilkada dikembalikan ke MA. Menurut Mahkamah konstitusi ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang tidak konsisten dan membuat UU hanya berdasarkan selera politik penguasa tanpa memikirkan desain penegakan demokrasi dan hukum.
Sengketa pilkada dahulu di tangani oleh MA. Dengan berbagai alasan akhirnya dipindah ke MK, lalu sekarang dipindah ke MA lagi. Sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah konflik kepentingan di MA dan pengadilan di bawah karena akan sangat mudah diintervensi oleh kekuasaan.
kewenangan sengketa pilkada tetap menjadi kewenangan MK dan tidak perlu dipindah ke MA.
Ada beberapa alasan kewenangan agar tetap di MK. Pertama,soal kewenangan MK sudah cukup memiliki kewenangan untuk sengketa pilkada dan sudah berpengalaman sejak 2008. Hanya 1–2 perkara pilkada saja yang tidak diterima MK.
Kedua, hal ini akan mendorong keberlanjutan sistem. Yang perlu dilakukan tinggal melakukan penataan, misalnya perpanjangan waktu penyelesaian. Ketiga, MA sedang dalam penataan di internal, serta memiliki beban kerja masing-masing lembaga yang tinggi. Hal itu terlihat dari beban perkara dan penunggakan perkara yang juga cukup tinggi.
Dalam Pasal 31 dan Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Pilkada yang diajukan pemerintah, di mana Pasal 31 Ayat (1) disebutkan, calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan dapat mengajukan keberatan ke MA.
Usulan pengalihan kewenangan penanganan sengketa pilkada itu disetujui oleh sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan Panja RUU Pilkada. Kelihatannya DPR sepakat dengan usulan pemerintah tersebut.
Hasil dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 lalu yaitu dari 224 daerah melaksanakan pilkada, ada 165 daerah yang digugat ke MK dengan jumlah kasusnya 229, yang dikabulkan MK 26 kasus, 6 kasus kesalahan KPU dan 20 kesalahan calon.
Dalam usianya yang ke-9 tahun Mahkamah Konstitusi, maka jika ditilik dari jumlah perkara yang masuk, dalam usia yang relatif masih muda, MK terbukti telah sangat dipercaya oleh masyarakat dan telah menerima perkara sekitar 1082 perkara konstitusi.