Mohon tunggu...
Indra Haryawan
Indra Haryawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

orang yang biasa - biasa sahaja. termasuk biasa ngutang tanpa bayar........

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yuk Ke Puskesmas

7 Desember 2011   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:42 1519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pusat Kesehatan Masyarakat atau biasa disingkat dengan puskesmas adalah salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah untuk masyarakat. Walaupun keberadaannya menjangkau sampai di tingkat kelurahan tetapi sepertinya belum semua orang akrab dengan layanan Puskesmas. Seperti saya misalnya, karena alasan jam operasional puskesmas, lebih memilih untuk menggunakan jasa klinik 24 jam yang berdekatan dengan puskesmas walaupun biaya yang dikeluarkan pastinya relatif lebih mahal. Gengsi? ndak juga sih, terbukti hari ini untuk pertama kalinya saya menggunakan layanan puskesmas. Bagaimana pengalamannya? Seru? Tegang? Seram? Silakan disimak Ceritanya, dua hari yang lalu mendadak muncul rasa aneh pada salah satu gigi geraham. Dooohhh mau bilang sakit gigi aja kok pake muter-muter segala. Setelah dengan segala daya upaya mengintip kondisi gigi,  terlihat bahwa tambalan gigi yang sudah berusia belasan tahun akhirnya terlepas dan menyisakan bentuk yang cukup memukau (baca : bolong besar). Wah, harus segera ditambal ulang nih, jangan sampai kenikmatan makan terganggu oleh kerusakan gigi. Jadilah, pagi ini dengan segala keberanian dan kenekatan yang ada, datang berkunjung ke puskesmas di sebelah kantor kelurahan. Kok ndak ke klinik? Wah, dokter gigi di klinik baru buka jam 10, sementara jam 10 sudah ada janji rapat dengan pak boss di kantor. Bangunan puskesmas yang ada mempunyai 2 pintu, satu pintu berada dekat dengan loket pendaftaran sementara satu pintu lagi dekat dengan apotik. Kok sepi ya? Salah masuk ternyata hehehe. Tanya punya tanya sama ibu penjaga apotik, ternyata dokternya lagi ndak ada tapi ada perawat gigi. Ya sudah tak apalah. Selanjutnya dipersilakan mendaftar dulu di loket pendaftaran. Di depan loket ada 2 tumpukan kartu antrian, satu untuk layanan kesehatan umum satu lagi untuk layanan kesehatan gigi. Nomor keberuntungan  adalah nomor 9. Wuaaaahhh lama dong nunggunya? Belom tentu juga. Karena belum pernah terdaftar sebagai pasien, dilakukan registrasi terlebih dahulu. Ibu petugas yang ramah menanyakan nama, umur, kemudian RT/RW domisili sambil mencatat di sebuah buku jurnal sementara mbak manis petugas loket mengetik data di komputer. Bayar 2 ribu rupiah sahaja dan mendapat selembar kartu imut sebagai kartu pasien (tapi tertulisnya kok ya kartu pengunjung) [caption id="attachment_148026" align="aligncenter" width="480" caption="Kartu Pengungjung"][/caption] Selanjutnya dipersilakan mengantre di depan ruangan dokter gigi. Dan teror pertama pun dimulai ! Tahu sendiri lah, biasanya di dokter gigi memang akrab dengan bunyi jeritan dan tangisan anak kecil. Tak lama berselang, seorang anak kecil diantar ibunya terlihat keluar ruangan sambil menangis dan memegang pipinya. Takut? Oh tentu tidak :) Selanjutnya masih ada 2 pasien lagi. Karena pasien dewasa, tidak terjadi teror apapun. Sunyi senyap bagaikan tak terjadi sesuatu apapun. [caption id="attachment_148027" align="aligncenter" width="480" caption="Ruangan Perawatan Gigi"][/caption] Daripada mati gaya, lebih baik intip mengintip sambil mengambil gambar. Kursi yang digunakan mengingatkan pada tempat praktek dokter gigi yang pernah saya kunjungi sekian belas tahun yang lalu. Bentuk lampunya, bentuk peralatan drill, mangkok tempat berkumur, dan kawan-kawannya sangat mirip. Sebuah kompresor terlihat di dekat kursi perawatan. Sebuah pendingin ruangan terlihat berada di atas jendela, tetapi tidak menyala. Sebagai gantinya, jendela dibiarkan terbuka lebar dan sebuah kipas angin berada di belakang kursi perawatan. Kemudian tibalah saatnya penyiksaan :) Petama kali yang ditanyakan adalah keluhannya. Ya langsung saja katakan sejujurnya bahwa ada tambalan gigi yang lepas. Hasil checkup ternyata ditemukan satu lagi gigi yang berlubang. Sayang seribu sayang, ternyata peralatan bor yang ada sedang rusak, padahal untuk melakukan penambalan katanya harus dibor terlebih dahulu. Disarankan untuk datang ke puskesmas di kecamatan yang peralatannya masih berfungsi baik. Selesai? Ternyata belum. Siksaan justru baru akan dimulai. Karena dilihat ada cukup banyak rocker yang pentas di sekitar gigi (baca : banyak ditemukan karang gigi alias kalkulus) ditawari untuk pembersihan karang gigi. Hmmm gimana yaaaah, mosok preman takut sama yang gituan? Ya sudah, siksaan pun dimulai. Peralatan yang (kalo ndak salah) disebut scaler beraksi dari satu gigi ke gigi lain. Rasanya? aahhhh biasa saja kok, ndak sakit. Tapi kalo nyenggol bagian gusi, ya itu lain cerita :) memang berjuta rasanya. Diselingi beberapa kali berkumur untuk membersihkan karang gigi yang berhasil dirontokkan dan tentunya sedikit darah, acara penyiksaan pun berakhir. Sebelom pulang jangan lupa bayar ya :) Ternyata untuk membersihkan karang gigi cukup membayar 18 ribu rupiah saja. Sangat murah sekali kalau dibandingkan dengan praktek dokter gigi swasta. Ndak percaya? Nih bukti bayarnya [caption id="attachment_148031" align="aligncenter" width="320" caption="Ongkosnya Murah Kan?"][/caption] Oh ya, yang menarik dari puskesmas di keluarahan adalah pengunjungnya melepas alas kaki sewaktu masuki ruangan. Jadi, di depan pintu ruang tunggu bertebaran segala macem alas kaki dengan berbagai ukuran. Trus, untuk memudahkan urusan bayar membayar, sebaiknya sediakan uang dalam pecahan yang agak kecil, misal 20 ribuan. Kalopun terlanjur hanya membawa pecahan besar ndak usah khawatir, karena di sekitar puskesmas biasanya ada warung atau penjual makanan keliling yang bersedia memberikan penukaran uang. Sebaiknya juga jangan berharap bisa membayar menggunakan kartu kredit atau kartu debet  :) Apakah di puskesmas kecamatan juga ditemukan hal yang sama? Semoga besok masih punya keberanian dan bisa menuliskan ceritanya :) Jakarta 2011-12-07

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun