menyambung unggahan mbak Aulia Gurdi yang pada tautan http://regional.kompasiana.com/2011/06/06/pembelian-tiket-ka-di-mini-market-sebuah-terobosan/, artikel berikut ini berusaha sedikit menjelaskan mengenai sistem pembayaran dalam jaringan Model Pembayaran Masa Lalu Kembali ke era 80-an, bahkan mungkin era 90-an, mungkin di antara pembaca ada yang pernah mengalami betapa repotnya membayar tagihan listrik ataupun tagihan telepon. Biasanya pagi-pagi kita sudah menunggu di depan loket pembayaran dengan membawa uang secukupnya, bukti tagihan, dan bukti pembayaran bulan sebelumnya. Setelah loket dibuka, semua orang berebut supaya dapat segera menyelesaikan ritual bulanan nan menyebalkan, penuh perjuangan, dan terkadang juga penuh dengan bau keringat. Hanya seperti itu? Tentu saja tidak selamanya mudah, jika ternyata uang yang kita bawa jumlahnya tidak mencukupi, kita harus kembali lagi ke rumah untuk mengambil uang dan lagi-lagi kembali mengantri. Cerita kembali berulang saat kita harus melakukan pembayaran lain seperti pembayaran biaya kuliah atau pembelian tiket transportasi. Menyebalkan? Itulah hidup :) Ternyata tidak hanya konsumen yang menderita, bagi perusahaan yang menagihkan pembayaran dan penyelenggara loket pembayaran pun juga terkena imbasnya. Untuk mengurangi antrian, terutama mendekati batas akhir pembayaran, biasanya jumlah loket akan diperbanyak. Sebagai konsekuensinya adalah penambahan biaya operasional, baik untuk pembelian peralatan seperti komputer dan printer untuk mencetak struk, juga muncul penambahan biaya untuk tenaga kerjanya. Pada akhirnya peningkatan biaya tersebut harus ditanggung oleh penyelenggara loket dan perusahaan, lagi-lagi peningkatan biaya tersebut kembali ditagihkan ke konsumen dalam bentuk bea admin. Sebuah lingkaran setan bukan? Model Pembayaran Dalam Jaringan Kemudian muncul sistem pembayaran dalam jaringan yang umum digunakan pada saat ini. Hampir semua tagihan bulanan dapat dilakukan melalui anjungan tunai mandiri (ATM). Loket pembayaran yang dulunya hanya dikelola oleh bank tertentu saja dan jumlah loketnya terbatas sekarang jumlahnya sudah berkembang dan dapat dikelola oleh pihak selain bank, bahkan juga perseorangan. Tidak hanya terbatas pada tagihan bulanan, sistem yang sekarang ini juga dapat dilakukan untuk melakukan pembelian tiket perjalanan, pembayaran biaya kuliah, pembeliah voucher isi ulang seluler, dan yang terbaru adalah untuk listrik prabayar. Seperti apa sistem tersebut? Rumit kah atau sederhana? Berikut penjelasannya. Secara umum sistem pembayaran dalam jaringan terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian pertama adalah sistem yang berperan dalam mengumpulkan dana tagihan (collecting agent atau CA). Bagian kedua adalah payment switching (maaf, saya belum sempat mencari padanan kata yang benar) yang berperan untuk mengarahkan pembayaran ke merchant/biller sesuai dengan kode pembayaran atau tagihan yang diberikan. Bagian terakhir adalah sistem data tagihan yang dimiliki oleh pedagang (merchant) atau pemilik tagihan (biller). Karena payment switch hanya menghubungkan dua pihak, arsitektur sistem ini dikenal juga dengan arsitektur sistem dua dimensi dan umumnya diterapkan pada loket pembayaran atau pada bank. [caption id="attachment_112635" align="aligncenter" width="634" caption="Sistem Dua Dimensi"][/caption] Pengembangan lebih lanjut pada sistem tiga dimensi melibatkan pihak ketiga sebagai sistem sumber dana. Contoh sistem sumber dana adalah sistem pada bank penerbit kartu kredit dan sebagai pengumpul dana umumnya berupa jejaring perdagangan elektronik atau sistem dengan peralatan berupa Electronic Data Capture (EDC) [caption id="attachment_112636" align="aligncenter" width="634" caption="Sistem Tiga Dimensi"][/caption] Pada proses pembayaran tagihan, baik sistem dua dimensi ataupun sistem tiga dimensi, sistem pengumpul dana akan melakukan proses inquiry terlebih dahulu ke arah merchant/biller melalui payment switch untuk mengetahui jumlah tagihan yang harus dibayarkan. Selanjutnya jika mendapatkan persetujuan untuk melakukan pembayaran, sistem pengumpul dana akan melakukan penerimaan atau pemotongan dana dan memberikan perintah ke sistem merchant/biller untuk mengubah status tagihan menjadi sudah terbayar. Jika terjadi gangguan dalam siklus pembayaran, sistem pengumpul dana dapat memberikan perintah berupa payment advice (pengulangan perintah perubahan status tagihan) atau reversal (pembatalan perubahan status tagihan). Pada sistem pembelian, seperti pembelian voucher, proses yang dilakukan lebih singkat karena tidak menggunakan perintah inquiry. Rekonsiliasi dan Penyelesaian Akhir Setelah proses pembayaran selesai dilakukan oleh konsumen, antara pihak pengumpul dana dan pemilik tagihan akan melakukan rekonsiliasi data pembayaran. Secara ideal, data yang terdapat pada setiap pihak akan selalu sama. Tetapi jika terjadi kondisi gangguan pada siklus yang menyebabkan dikirimkannya perintah payment advice atau reversal, ada kemungkinan terjadi selisih data. Proses pelacakan selisih data tersebut disebut dengan rekonsiliasi. Sebagai hasil dari rekonsiliasi dapat berupa perubahan status tagihan menjadi kembali belum terbayar atau pemotongan saldo. Pada waktu yang disepakati, misal H+1, pihak pengumpul dana akan melakukan transfer dana sesuai dengan hasil rekonsiliasi yang telah disepakati ke pihak merchant/biller. Selesailah sudah satu proses pembayaran. Keamanan Sistem Suatu sistem pembayaran tentunya harus terbebas dari penyalahgunaan atau serangan dari pihak luar. Beberapa contoh tindakan pengamanan adalah penggunaan jaringan khusus, seperti Virtual Private Network (VPN), penggunaan Access Point Name (APN) yang berbeda pada jaringan GSM, atau penggunaan Secure Socket Layer (SSL) akan menjamin keamanan sesuai aspek kerahasiaan. Aspek integritas data transaksi dapat dijamin melalui penerapan checksum pada data. Penggunan kode akses (username/password atau sertifikat digital) yang berbeda untuk setiap terminal akan menjamin kemananan sesuai aspek keaslian transaksi. Bahwa transaksi memang benar dilakukan oleh pihak yang sesungguhnya. Sebagai tambahan adalah analisa terhadap transaksi untuk mengetahui kemungkinan adanya fraud. Pengembangan Sistem Dalam implementasinya, sistem dapat dikembangkan sesuai dengan teknologi yang ada saat ini. Misal, sebagai pengganti komputer dan printer pada loket teller bank dapat menggunakan EDC yang sifat mobilitas dan portabilitasnya relatif tinggi, ATM yang terintegrasi dengan layanan standar perbankan, atau fasilitas internet banking. Pihak merchant pun dapat melakukan pengembangan menggunakan sistem jejaring perdagangan elektronik atau sistem reservasi dalam jaringan yang terbukti cukup efektif dalam menekan biaya operasional loket penjualan. Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, SMS dapat menjadi alternatif pengembangan pada sistem reservasi tiket atau sistem booking, tentunya dengan batasan-batasan tertentu sesuai dengan sifat dasar dari teknologi yang digunakan. Akhir kata, semoga bermanfaat Jakarta 2011-06-07 NB : Dalam sudut pandang bank sentral tidak dibedakan antara biller dan merchant, keduanya sama-sama disebut sebagai merchant.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H