Ini tjeritera masa laloe, tjeritera tentang seseorang pemoeda jang mentjari djati diri jang hilang tak tantoe rimbanja. Lho.... kok jadi ejaan jadul? Ya sud, tiada berpanjang kata lagi kita mulai saja.
Yang namanya anak muda biasanya punya kesenangan tersendiri, dari mulai yang normal sampai dengan yang abnor.... eh maksudnya sedikit berbeda dengan kebanyakan. Kebetulan saya termasuk dalam golongan anak muda yang senang keluyuran tak tentu arah. Setidaknya bakat itu sudah terlihat dari masa kecil saya yang konon menurut orang - orang pernah hilang selama beberapa jam dan kemudian ditemukan di pasar yang cukup jauh dari rumah. Bedanya, kalau waktu kecil saya memilih pasar sebagai arena keluyuran, belasan tahun berikutnya saya memilih untuk keluyuran di hutan ataupun gunung.
Anak gunung? Yah begitulah cita-citanya. Kenyataannya? Mungkin bisa dikatakan jauh panggang dari api. Maklumlah, kondisi fisik saya bukanlah termasuk mumpuni untuk urusan kegiatan alam bebas. Tapi masalah fisik urusan belakangan, yang penting bisa keluyuran. Dan di sebuah kesempatan saya pun mendaftar sebagai calon anggota perhimpunan penjelajah alam yang ada di sekolah. Seperti biasa, setiap nyubie pasti harus menempuh pendidikan dasar, yang saat itu dilaksanakan di sebuah tempat yang cukup sejuk di sebelah selatan kadipaten Bandung. Karena modal yang cukup terbatas dan sama sekali tidak mengetahui kondisi di lokasi, saya pun menggunakan peralatan ala kadarnya. Kalau teman - teman yang lain menggunakan ransel merk lokal dengan kapasitas 40 liter ke atas, saya menggunakan sebuah ransel tempur nan imut dengan kapasitas hanya setengahnya. Untuk jaket, saya hanya menggunakan jaket biasa yang sama sekali tidak berkriteria wind proof apalagi waterproof.  Kalau teman lain membawa golok khusus ala penjelajah rimba, saya pun hanya menggunakan golok serba guna buatan kampung halaman. Serba guna? Ho oh, setidaknya pernah digunakan untuk memotong ayam, menebang dahan, dan sekian banyak fungsi lainnya. Pokok dengan perabotan sesederhana dan seringkas mungkin, yang penting lengkap. Hasilnya? Benar - benar seminggu yang penuh derita. Selain karena peralatan yang minim, kondisi fisik yang memang dari sononya sudah ndak terlatih pun semakin memperparah kondisi. Akhirnya setelah tamat pendidikan dasar tersebut, nasib saya pun terpaksa berakhir dengan tidak dapat berjalan normal selama sebulan lebih. Satu efek positif yang cukup terlihat dari kegiatan itu adalah meningkatnya metabolisme tubuh yang mempengaruhi nafsu makan dari sehari 3 piring menjadi sehari 4 bakul eh piring. Akhirnya, karena permintaan penyandang dana beasiswa (baca : orang tua) saya pun terpaksa melupakan karir sebagai anak gunung dan menjadi anak baek yang belajar tekun (ahhh mosokkkk....).
Selesai? Oh tidak. Masa kuliah adalah masa yang paling menyenangkan, setidaknya dengan tinggal berjauhan dari orang tua saya punya kesempatan lebih banyak untuk menggali kembali bakat keluyuran. Dan lagi - lagi menjadi anak gunung menjadi sebuah pilihan. Perlengkapannya ya sama saja, masih dengan kondisi ala kadarnya. Kebiasaan nanggung terulang kembali. Sekali waktu saya mendapat undangan untuk menghadiri salah satu acara pendidikan dasar dari kampus tetangga. Lokasinya adalah di Ranu Pani, sebuah desa di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Waktu itu saya sama sekali tidak tahu menahu seperti apa itu Ranu Pani, berapa suhu di sana, seperti apa lingkungannya dan berapa jauhnya. Perlengkapan yang saya bawa hanyalah selembar jaket parasut tipis dengan hood yang tak kalah tipisnya, beberapa helai pakaian perjalanan dan pakaian cadangan, tanpa sarung tangan, dan sepatu ala kadarnya. Ternyata..... Ranu Pane berada pada ketinggian 2200 mdpl dengan suhu di malam hari dapat turun mendekati belasan derajat selsius. Klop sudah, suhu rendah ditambah dengan belaian angin dari menambah derita di malam itu. Kapok? Belum, cerita konyol lainnya masih berlanjut.
Sekian tahun berikutnya saya kembali ke Ranu Pane. Kalau sebelumnya dengan menggunakan kendaraan umum, kali ini saya memilih untuk berjalan kaki dari desa Gubugklakah, di pinggiran taman nasional, dan bermalam di desa Ngadas. Awalnya saya berjalan sendirian tapi di tengah jalan saya mendapat teman seperjalanan sepasang pelancong asal Swiss dan Belgia. Menyenangkan mendapat teman seperjalanan tapi sekaligus juga membawa masalah tersendiri karena kecepatan langkah mereka yang berbeda. Selama 2 hari awal tidak terlalu masalah, saya masih bisa jalan pelan - pelan sambil ngobrol. Yaahhh, pura - pura cerita ini itu supaya mereka sedikit mengurangi kecepatan langkahnya. Bencana baru datang di hari ketiga saat saya terlambat bangun dan tidak sempat sarapan padahal jarak yang harus ditempuh cukup jauh yaitu sekitar 6 jam perjalanan dari Ranu Pane ke gunung Bromo. Pada waktu itu yang ada di dalam ransel hanyalah air minum, sebuah mie instant, sekaleng sarden, dan beberapa buah pisang hasil barter sarden dengan penduduk. Terpaksalah pisang menjadi santapan sekaligus sarapan selama perjalanan. Laper? Pasti. Gempor? Ndak usah ditanya. Ya nikmati sajalah
Kapok? Oh belum. Bosan dengan jalur Gubug Klakah, di kesempatan lain saya mencoba jalur yang berbeda melalui Nongkojajar ke desa Ngadas. Karena sendirian, otomatis jadwal perjalanan pun menjadi molor sesuka hati. Setidaknya saya membuang waktu sejam untuk bobok manis di pinggir jalan sambil menyandar pada ransel. Ditambah lagi dengan kecepatan langkah yang ala kadarnya semakin membuat jadwal molor. Hasilnya..... menjelang senja saya masih berada di tengah hutan dan cukup jauh dari desa terdekat. Setidaknya masih perlu waktu 2 jam perjalanan lagi. Daripada mengikuti jalan utama yang memutar, lebih baik ambil jalan pintas, demikian keputusan saat itu. Perasaan mengatakan jalan pintas yang diambil akan menuju ke arah ladang di bagian bawah desa. Selanjutnya yaaaa tinggal ikuti jalan yang ada. Keputusan yang tepat seandainya didukung oleh peralatan yang memadai. Apakah peralatan yang dibawa memadai? Tentu tidak! Lagi - lagi saya apes, masih berada di tengah hutan senter imut yang saya gunakan kehabisan tenaga. Nah lho.... trus gimana? Ndak ada pilihan lain, gelar poncho dan tidur saja di tengah hutan. Toh nanti menjelang tengah malam bulan mulai muncul dan kondisi akan cukup terang untuk berjalan.
Masih ada lagi cerita konyol lain selama menjadi anak gunung yang serba nanggung. Nantilah lain kali dilanjut kalo ada niatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H