Roman Made in Bali, sekilas dapat disalahartikan sebagai cerita romantis ala Bali. Apakah memang sebuah pementasan cerita romantis? Pementasan yang diproduksi oleh Indonesia Kita, pimpinan Butet Kertaredjasa, adalah sebuah simbol keprihatinan terhadap kondisi pariwisata di Bali yang dituangkan dalam sebuah cerita perebutan hati seorang wanita dan menggunakan kemasan humor. Karena menggunakan kemasan humor, beberapa pemeran dalam pementasan ini pun sudah memiliki nama yang mumpuni dalam dunia humor. Tak lupa, beberapa satire terhadap pilpres dan perilaku parpol ikut disindir dalam pesan pembuka yang disampaikan oleh Butet.
Pentas dimulai dengan sebuah sebuah lagu yang dibawakan oleh Heny Janawati dengan menggunakan visualisasi dewata yang memegang senjata perlambang Dewata Nawa Sanga. Melambangkan pulau Bali dalam masa awalnya yang masih murni dibalut dalam kemasan religius dan budaya. Perubahan pun dimulai, sejak perekembangan pariwisata dimulai beberapa dekade berselang, Bali menjadi lahan perebutan dari pemodal pariwisata. Dalam pentas divisualisasikan dengan segerombolan laki-laki yang mabuk oleh minuman keras tradisional, menarik-narik seorang wanita dari satu lelaki ke lelaki lain.
[caption id="attachment_342492" align="aligncenter" width="640" caption="Adegan Pembuka"][/caption]
[caption id="attachment_342493" align="aligncenter" width="640" caption="Simbol Bali yang diperebutkan"]
Adegan berganti, menceritakan seorang wisatawan asal negeri "Kan Ada" bernama Roman, yang diperankan oleh Cak Lontong bersama seorang pemandu wisata yang diperankan oleh Insan Nur Akbar . Sindiran terhadap perilaku matrialis insan pariwisata pun ditunjukkan melalui perilaku "One dollar sir" dari sang pemandu wisata. Sebanyak apa pun uang dolar mengalir ke kantongnya, tidak ada satu pun yang diberikan kepada penduduk, yang hanya dijadikan sebagai obyek.
Kisah pun berlanjut dengan pertemuan dan jatuh hatinya Roman terhadap Sita, sang gadis bali (diperankan oleh Ayushita). Perjuangan mendapatkan hati sang pujaan pun menjadi kompleks karena Sita ternyata juga sudah didekati oleh seorang pemuda setempat bernama Made (diperankan oleh I Wayan Balawan). Sebuah visualisasi dari perebutan dari arah perkembangan Bali antara mengutamakan kepentingan wisatawan asing dan pemodal dengan keberpihakan pada keaslian budaya religius penduduk lokal. Beberapa isyu terkini tentang arah pembangunan di Bali pun ikut masuk ke dalam dialog gombalan dari Roman kepada Sita.
[caption id="attachment_342495" align="aligncenter" width="640" caption="Wisatawan vs Guide"]
Bagaimana akhir dari kisah tersebut, ada baiknya jika datang langsung menyaksikan :) Pastinya berbagai ungkapan khas Cak Lontong, maupun duet mautnya dengan Marwoto, yang berperan sebagai ayah dari Made, sangat menghibur seisi theater Graha Bakti Budaya yang tadi malam terisi penuh. Tak lupa berbagai celetukan khas Bali, mengisi dialog antara Made dan ayahnya. Walaupun, tidak semua penonton memahami bahasa Bali tapi kelucuan tetap dapat terbangun dari pemeran yang berimprovisasi menghadapi dialog bahasa Bali yang lenyap dari ingatan atau celetukan di luar skenario.
[caption id="attachment_342496" align="aligncenter" width="640" caption="Tarian kreasi dari KOBAGI"]
Sebagai penguat dari pementasan adalah ditampilkannya beberapa kreasi dari seniman Bali. Selain visualisasi pada latar belakang panggung yang menggunakan Wayang Listrik, pentas pun melibatkan sebuah komunitas yang menamakan dirinya Komunitas Badan Gila atau disingkat KOBAGI. Sebuah bukti dari seni budaya Bali yang tidak pernah berhenti berkembang sampai dengan masa sekarang, menyerap unsur dari luar tanpa tercabut dari akarnya.
[caption id="attachment_342498" align="aligncenter" width="640" caption="Tarian Barong dan Rangda"]