Mohon tunggu...
Dedi Irawan
Dedi Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja sebagai Legal Analyst and Content Marketing

Seorang pecinta negeri dan blogger

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Co-Working Space", Solusi Bisnis Tak Optimal Karena Regulasi

29 Oktober 2018   16:28 Diperbarui: 30 Oktober 2018   08:18 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, teman ingin membuat perusahaan biro perjalanan wisata. Sempat terpikir untuk membuat perusahaan beralamatkan di co-working space. Sayangnya, hal tersebut terbentur aturan yang dipahami oleh pihak terkait.

Di tengah kemajuan teknologi saat ini, memiliki biro perjalanan wisata tentu lebih mudah dilakukan daripada sebelumnya. Hanya bermodal laptop dan jaringan internet seseorang bisa melayani konsumen. Pelanggan tak perlu datang ke kantor fisik layaknya bisnis model lama untuk bertemu muka.

Idealnya, semua proses bisa dilakukan melalui website mulai dari pemesanan hingga pembayaran. Bisnis biro perjalanan wisata dengan mengandalkan dunia maya ini sudah popular beberapa tahun belakangan ini. Karena minimnya kebutuhan ruang, maka idealnya perusahaan seperti ini bisa menggunakan virtual office. Jika pun ingin meeting dengan klien, maka pelaku usaha bisa melakukannya di co-working space.

Asumsi tersebut tampaknya masuk akal mengingat ada dasar hukum yang bisa dijadikan landasan. Adalah SE PTSP DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tentang Penerbitan Surat Keterangan Domisili dan Izin-Izin Lanjutannya Bagi Pengguna Virtual Office yang dianggap sebagai angina segar bagi para pelaku bisnis. Dalam surat edaran tersebut, beberapa usaha dengan izin SIUP, TDUP, IUJK, dan lain-lain bisa berkantor di virtual office.

BPW Memakai Virtual Office: Praktik di Lapangan

Berdasarkan Kode Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2017, biro perjalanan wisata termasuk dalam ranah kewenangan Kementrian Pariwisata. Berdasarkan Permenpar 18/2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, usaha biro perjalanan wisata didefinisikan sebagai usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah.

Permenpar itulah yang ketika biro perjalanan wisata (BPW) hendak memakai virtual office terhambat. Jadi, meskipun dalam surat edaran PTSP diperbolehkan namun para praktiknya pihak PTSP tidak menyetujui penggunaan co-working space untuk digunakan sebagai domisili perusahaan. Termasuk ketika penyedia co-working space tersebut memiliki layanan virtual office, sesuai zonasi peruntukkan, dan memiliki kelengkapan izin lainnya.

Alasan yang diberikan pihak PTSP adalah sesuai juknis dari Permenpar 18/2016 biro perjalanan wisata membutuhkan minimal 1 meja dan kursi untuk melayani konsumen. Konsep virtual office tentu tidak bisa memenuhi ketentuan dalam juknis tersebut. Hal ini tentu tidak relevan ketika pelaku bisnis pada praktiknya tidak membutuhkan kursi dan meja. Ingat, pelayanan yang dilakukan dilakukan melalui website atau aplikasi lainnya yang tidak memerlukan tatap muka langsung.

Kabar baiknya, Permenpar 18/2016 ini telah dicabut dan digantikan oleh Permenpar 10/2018 Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pariwisata. Permenpar terakhir merupakan peraturan pelaksana dari PP 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau di kalangan pelaku usaha sering disebut sebagai PP OSS.

Bagaimana Perizinan BPW Setelah Sistem OSS Terbit?

Meski perizinan berusaha telah diakomodir oleh sistem OSS, namun di wilayah DKI Jakarta hal tersebut masih opsional. Berdasarkan pengalaman, pihak PTSP masih tetap melayani proses perizinan berusaha seperti biasa. Pun demikian dengan JAKEVO yang tetap masih melayani pelaku usaha dalam mengurus perizinannya.

Hal ini bisa menjadi kabar gembira mengingat proses permohonan perizinan berusaha melalui sistem OSS masih belum optimal. Selain masih banyak kebingungan pada pelaku usaha terutama mengenai keabsahan dokumen dan pemenuhan komitmen, masih banyak hal-hal teknis yang sering menjadi hambatan bagi para pelaku usaha. Belum lagi perlakuan pihak ketiga seperti perbankan, terhadap output dari sistem OSS yang dianggap masih banyak belum mengakuinya sebagai dokumen yang sah saat hendak digunakan sebagai syarat untuk membuka rekening perusahaan.

Di sisi lain, keberadaan sistem OSS amat memudahkan pelaku usaha. Sebagaimana kita tahu bahwa pendaftaran dan pengurusan perizinan berusaha melalui sistem OSS relatif sama untuk semua wilayah Indonesia. Selain itu, prosesnya murni online sehingga mengurangi secara drastis proses tatap muka antara pelaku usaha dengan pemangku kebijakan. Hal ini amat penting agar para pelaku usaha dan pemangku kebijakan terhindar dari terjadinya kesepakatan di bawah meja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun