Mohon tunggu...
Dedi Irawan
Dedi Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja sebagai Legal Analyst and Content Marketing

Seorang pecinta negeri dan blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Raisopopo" atau Bisa Apa Saja?

22 April 2014   17:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terdengar sajak nyinyir dari tetanggaku penggemar fanatik burung perkasa. Sajaknya lugas dan tak perlu belajar sastra untuk mengungkap maknanya. Tapi penggubahnya bisa berlindung dibalik fiksi untuk menghindarkan dari sebutan pembuat fitnah.

Selanjutnya, sajak puisi berhamburan dari lubuk petinggi partai yang frustasi karena merasa dikhianati. Tetanggaku yang sebelumnya tak doyan puisi tiba-tiba setiap hari memuisikan segala kejadian. Maka, muncullah sebutan "rabisopopo" dan kemudian "pasukan nasi bungkus".

Karena kampungku hanya "selebar daun kelor" maka perilaku tetanggaku kemudian dikategorikan perilaku meresahkan. Bagaimanapun, menunjuk setiap orang yang yang tidak sesuai dengan kita lewat sajak kurang fair rasanya. Sebab saat dikonfirmasi, pembuat sajak dengan mudahnya berkata, "Inikan fiksi semata,".

Lalu, tersebutlah Begaawan Jeje, juru damai kampung, punya inisiatif mendinginkan suasana. "Apa yang sebenarnya kalian ributkan?" ujar Sang Begawan teduh pada masyarakat kampung yang berkumpul di pendopo desa.

"Aku hanya tak ingin, orang-orang terlena dengan si "Raisopopo", mau dibawa ke mana negeri kita nan kaya ini?" ujar tetanggaku memulai pembicaraan sebab merasa dialah biang keladi dikumpulkannya warga kampung.

"Lha, emangnya si pencetus "Raisopopo" itu bisa apa?" timpal tetanggaku yang berprofesi sebagai petani.

"Dia bisa apa saja yang dibutuhkan negeri untuk maju. Nasionalisme tinggi, kekayaan melimpah, koneksi hingga ke ujung jagad, dan ketegasa tiada dua." ujar tetanggaku penggemar burung raksasa.

"Bisa segalanya ya? Termasuk menghilangkan nyawa manusia." ujar si petani sinis.

"Sudahlah, sudah. Tak ada guna kita bertengkar demi merebutkan siapa yang pas menduduki tahta di negeri ini." Begawan kembali menyejukkan suasana.

Sang Begawan kemudian menjelaskan bahwa pemimpin memang sebaiknya memiliki kemampuan untuk memimpin. "Raisopopo" memang perlu dipertanyakan, sebab memimpin sebuah negara tentunya wajib punya kemampuan. Tapi, memangnya benar yang dijuluki "Raisopopo" benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa?

Yang wajib diketahui juga, Begawan kembali menjelaskan, yang menjuluki "Raisopopo" belum tentu juga bisa apa saja. Yang saya tahu, rakyat negeri ini sudah terlampau sering dikecewakan orang-orang yang mengaku bisa melakukan apa saja. Tak terhitung mereka yang bergelar profesor toh ternyata berlaku hianat. Begitu juga mereka yang dinobatkan sebagai orang saleh oleh pengikutnya toh jauh dari amanah. Jadi, jangan salahkan si "Raisopopo" yang punya banyak penggemar.

"Betul itu, Begawan. Bukankah si pencetus "Raisopopo" sudah terbukti menghilangkan nyawa orang. Bahkan hingga kini Beliau dicekal oleh sebuah negara adidaya. Aku ini petani, dan katanya asosiasiku diketuai oleh Beliau. Memangnya ada perubahan pada petani?" ujar tetanggaku yang petani berapi-api.

Lalu tetanggaku yang petani kemudian menceritakan bagaimana mungkin seorang yang katanya prihatin dengan nasib petani tapi bangun rumah di atas tanah yang bisa digarap ratusan petani. Bagaimana mungkin teriak kesejahteraan rakyat yang merosot dari atas kuda yang nilainya milyaran.

Tetanggaku penggemar burung raksasa langsung bereaksi keras. "Justru itulah kelebihan Beliau. Beliau sudah tidak kekurangan apa-apa sehingga bisa fokus urus negara tanpa harus korupsi. Bayangkan jika "Raisopopo" jadi penghuni tahta, ia akan tetap jadi pesuruh karena mentalnya memang pesuruh."

Perdebatan tentang kekurangan dan kelebihan pemimpin pujaan terus berlangsung bahkan tak bisa dihentikan oleh Begawan Jeje sekalipun. Perdebatan baru berhenti saat perut tak kuat lagi menahan lapar. Karena kebetulan dana kampung menipis, maka sajian hari itu cuma singkong rebus berteman teh tanpa gula.

"Hanya inikah sajian untuk kumpul-kumpul hari ini." tanya seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai pengojek.

"Ya, hanya ini. Sayangnya para caleg kemarin sudah meminta kembali uang yang mereka tabur untuk kampung kita. Sebab tak seorangpun yang memenuhi target melenggang duduk di kursi dewan." ujar ketua kampung.

"Termasuk dari partai yang kalian berdua berfanatik." ujar ketua kampung kepada kedua tetanggaku.

Dan semua terdiam, sambil menikmati suguhan sederhana tersebut. Terbayang di mata mereka apakah si "Rapopo" dan pencetus "Raisopopo" akan mampu memberi mereka suguhan yang lebih baik tanpa meminta imbalan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun