Berawal dari sebuah pertemuan didalam kelas ketika masing menyandang status Mahasiswi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Hal menarik pada saat itu ketika mendapatkan materi perkuliahan dari seorang dosen yang tampak sangat sederhana. Bahkan materi yang disampaikannya pun dikemas dengan gaya kesederhanaannya. Padahal materi tersebut adalah salah satu materi pokok dari jurusan yang dipilih. Namun entah karena pikiran kami yang sudah underestimate dengan dosen tersebut ataukah karena kemasannya yang sangat sederhana maka materi tersebut tidak satupun melekat di benak kami pada saat itu.
Berawal dari sebuah pembicaraan yang dilakukan dengan berbisik – bisik ria tepat di barisan paling belakang, pembicaraan tersebut seputar kesederhanaan dari sang dosen sampai pada kualitas mengajarnya. Sampai juga pertanyaan kami pada tingkat pola pikir kami, dimana setiap pertanyaan yang kami ajukan tidak pernah dijawab oleh sang dosen. Apakah karena tidak mampu menjawab ataukah karena metode mengajarnya yang memang seperti itu. Kami hanya tertawa kecil jika pertanyaan kami tak kunjung mendapat jawabannya..
Seiring berjalannya waktu pertemuan demi pertemuan pun kami lewati dengan segudang pertanyaan yang entah dengan cara apa kami harus mencari jawabannya. Pada akhirnya pun kuliah usai dan hanya pertanyaan tersebut yang tersisa tanpa adanya jawaban maupun secercah harapan materi yang akan kami gunakan sebagai bekal untuk menyelesaikan perkuliahan kami nantinya.
Hanya asa yang tersisa yang pada akhirnya kami harus mencari sendiri jawaban dari semua pertanyaan yang kami miliki. Menarik juga, karena sampai pada akhir perkuliahan pada saat dihadapkan oleh tugas akhir yang pada akhirnya menghantarkan kami semua pada sebuah kelulusan. Tanpa sengaja melalui diskusi yang panjang dengan seorang dosen yang berlanjut pada sebuah jamuan makan malam yang cukup unik. Melalui sebuah diskusi yang panjang tersebut sampailah pada pembicaraan seorang dosen awal kami yang dulu mengajarkan materi yang paling penting selama perkuliahan kami. Tanpa diketahui, dibalik kesederhanaannya kami mengetahui begitu banyaknya nilai kemapanan yang telah dimiliki oleh sang dosen. Walaupun bergelimang kemapanan namun sang dosen tetap menggunakan kendaraan umum yang dari sudut pandang kami sangat sulit dimengerti dengan gaya hidupnya. Pada dasarnya, untuk dunia metropolitan seperti Jakarta, kemapanan khususnya materi adalah sesuatu yang sangat diidam – idamkan oleh semua manusia yang berjuang dalam sebuah persaingan yang ketat. Bahkan tidak sedikit dari mereka mampu melakukan segala cara hanya untuk sebuah titik kemapanan secara materi. Tidak dapat dipungkiri, Jakarta telah mampu mencetak begitu banyak manusia – manusia meterialistis.
Terutama untuk seorang laki – laki atau dengan predikat kepala keluarga yang diembannya, pada saat sudah mencapai titik kemapanan secara materi tersebut adalah suatu kebanggaan bagi keluarganya bahkan sampai tingkat sosialisasinya. Namun kelaziman yang terjadi tidak berlaku bagi serang dosen yang penuh dengan kesederhanaan ini. Ia memiliki cara yang unik untuk menikmati hidupnya. Sampai pada suatu malam ketika diskusi yang panjang dengan seorang sahabat disebuah kafe di Jakarta, kami hanya mampu tertawa tanpa pernah mampu mengerti pola pikir dan cara hidup sang dosen. Yang pada akhirnya diskusi kami sampai pada titik relativitas yang ditawarkan oleh para filsuf kita, dimana menjalankan dan menikmati hidup adalah penuh dengan pilihan yang ditawarkan. Hanya diri kita masing – masing yang mampu memilih karena semuanya kembali pada titik relatifitas tersebut. Namun pertanyaannya bagaimana kita mampu mempertahankan pilihan tersebut di tengah derasnya kelaziman yang dilakukan oleh kebanyakan orang diluar sana? Mungkin jawabannya adalah idealisme, prinsip, konsinten, atau virus Duo Maia yaitu EGP ( Emang Gue Pikirin...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H