Mohon tunggu...
geger gendroyono
geger gendroyono Mohon Tunggu... -

orang biasa yang mencoba hidup biasa-biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petuah untuk Pemuda

29 Oktober 2011   07:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi-pagi sekali mobil Nissan Juke Om yono sudah muncul di depan rumah kontrakan Andi. Seperti biasanya lelaki itu berdandan rapi: kemeja dan stelan jas, juga rambut klimis dibelah samping. Kumisnya rapi, dagu dan pimpinya tercukur bersih. Ia melangkah dengan hati-hati sekali, seolah takut menginjak tai kucing di halaman. Takut spatunya yang kinclong jadi kotor. Berulang-ulang ia mencet bel, seperti orang yang tergesa. Sementara di dalam rumah kelihatan belum ada tanda-tanda kehidupan.

Yang punya rumah baru saja bangun, dan sebagian kesadarannya masih tertinggal di tempat lain. Kalau bukan karena bel pintu yang menjerit-jerit tidak sabar, biasanya ia bangun lebih siangan lagi.

“Ada apa, Om?” Andi menyapa dengan malas.

“Jam segini belum bangun! Kamu tahu ini hari apa?” Om Yono langsung start menyerang.

“Jumat.” Andi berkata, setelah berpikir sebentar, dan masih dalam nada enggan.

“Sekarang tanggal dua lapan oktober. Kau tahu hari apa…?” Om Yono semakin keras membentak. “Kau piker apa yang dilakukan anak-anak muda sepertimu, pada hari yang sama delapan puluh tiga tahun silam? Tidur ?”

“Masuk, Om. Ngobrol di dalem aja!” Pemuda keriting cungkring dan bermata cekung itu ngeloyor ke dalam, tanpa menghiraukan pertanyaan Omnya.

Om Yono terpaksa ikut masuk juga, meski sedikit menahan dongkol. Kurang tahu juga sarapan apa orang tua itu tadi pagi, tumben-tumbennya dia datang dan langsung memberondong Andi dengan serentetan kuliah.

“Mereka tidak tidur,” Om Yono meneruskan lagi ceramahnya setelah dipersilakan duduk. “Mereka senantiasa terjaga untuk memikirkan dan mengambil langkah, bagaimana mengentaskan bangsa ini dari penjajahan. Mereka berjuang, senantiasa berjuang tak kenal lelah, tak kenal putus asa, bahkan tak kenal orang tua. Sebab mereka merantau jauh dari tanah kelahiran. Demi apa? Kau tahu, demi apa?”

Andi membuka Koran kemaren. Berusaha mengacuhkan ocehan Omnya.

Om Yono mengelap telapak tangannya ke lantai dan menunjukkannya di depa muka Andi. “Demi ini. Ini. Nih… Tanah air. Tumpah darah. Ibu pertiwi.”

“Sebagai orang yang dulunya pernah muda, terus terang, Om merasa malu punya keponakan seperti kamu. Lihatlah sudah jam berapa sekarang ini dan kamu masih enak-enak tidur. Di luar sana segelintir pemuda rakan-rekanmu sedang berpanas-panas, berteriak, berorasi, berbagi tuntutan ini dan itu. hanya segelintir saja, dari sekian juta pemuda di negeri ini. Hamper semuanya sepertimu: apatisan, hedonisan, partisan, picisan, kudisan.”

Andi membalik-balik Koran yang dipengangnya.

“Dan sekarang apa kau piker sudah merdeka, jadi bisa enak-enak tidur, begitu?”

Sekarang Andi menguap. Cukup lebar untuk masuk seratus lalat sekaligus.

“Kau masih bisa enak tidur sementara di depan hidungmu Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer mendekte para petani memilih bibit dan pupuk untuk sawah mereka. Bagaimana Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM mengangkangi sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Dan kau tetap tenang membeli produk Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co. juga mamamu yang kerasan belanja di Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco.

“Lihat itu, apa saja yang kaupakai. Kaos billabong, sendal jim jager… dimana kaubuang kau punya nasionalisme, hah? Sudah kubilang, sudah dikatakan seribu kali di televise, pakai dan cintai produk dalam negeri. Kamu mengerti, hah?”

“Apakah harus menunggu 350 tahun lagi baru kalian ini sadar, bahwa negeri ini sedang dijajah. Bahwa bangsa ini belum benar-benar merdeka. Bagaimana tidak dijaja, coba. Delapan puluh empat persen konsesi pertambangan migas dikuasai korporasi asing. Kau dengar, delapan puluh empat persen! Tujuh puluh persen saham di BEJ itu milik siapa? Kakekmu? Milik mereka. Lima puluh persen modal di perbankan. Apa itu namanya kalau bukan penjajahan.

“Ayo Andi! Bangkitlah! Himbau teman-temanmu, semuanya. Rapatkan barisan, pukul mundur penjajah. Bebaskan bangsamu dari cengkraman neo kolonialisme. Sekarang giliranmu. Teman-temanmu. Yang masih muda-muda. Om sudah lelah. Sudah tua. Tak lantang lagi bersuara. Suara Om sudah habis dalam aksi dan perjuangan di masa lalu. Langkah-langkah Om sudah tidak gesit lagi seperti dulu. Om sudah capek lari dikejar-kejar oknum militer. Generasi Om, kau tahu sendiri, mereka tidak gentar pada apapun. Saat itu tantangannya adalah moncong pistol. Penculikan. Lha Sekarang giliranmu. Giliran kalian.”

“Sudah, Om?”

“Sudah. Om lelah ngomong terus.”

“Ini baca, Om!” Andi mengulurkan Koran pada Omnya.

“Yang mana?”

“Berita utama.”

“Mantan Menteri Keanuan divonis bersalah dalam kasus korupsi yang merugikan 500 milyar uang Negara…” Om Yono membaca berita itu dengan keras.

“Itulah contoh generasi muda masa lalu, Om. Ya, generasinya Om.” Kata Andi, kalem saja. Tanpa ekspresi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun