Belanda melalui utusanya yang bernama Van Cappellen pada 14 Mei 1849 mendatangi raja Mataram. Van Cappellen membawa pesan dari Jendral Michiels yang pada intinya menyanggupi tawaran bantuan raja Mataram tiga tahun yang lalu untuk menyediakan pasukan.
Pada 18 Mei 1849, Jendral Michiels mengirimkan 10 kapal untuk mengangkut pasukan bantuan dari Mataram. Jumlah pasukan itu kurang lebih 4.000 dan dipimpin oleh I Gusti Gde Rai. Pasukan ini tiba di Pelabuhan Amuk pada 19 Mei.
Tanggal 20 Mei, bersama dengan I Gusti Made Jungutan, seorang patih Karangasem yang membelot dan memilih bergabung dengan pasukan Mataram, menyerbu desa Ujung dan selanjutnya meneruskan serangan ke puri Karangasem. Dalam usahanya mempertahankan puri, raja Karangasem gugur.
Raja Buleleng sendiri, bersama dengan patih Jelantik menyingkir ke desa Balepundak. Oleh pasukan Mataram, mereka terus dikejar. Pertempuran sengit pun terjadi di Balepundak. Dalam pertempuran ini, raja Buleleng dan patih Jelantik gugur.
Selanjutnya pada 24 Mei, pasukan Mataram bergabung dengan pasukan Belanda pimpinan Jendral Michiels dan Letkol Van Swieten. Pasukan gabungan ini terlibat pertempuran di Goa Lawah, lawan yang dihadapi adalah pasukan Dewa Agung dari Klungkung dan pasukan Dewa Pahang dari Gianyar. Klungkung dan Gianyar dapat dipukul mundur, dan tepat pada pukul 3 sore, Belanda berhasil menduduki Kusamba.
Nasib malang menimpa Jendral Michiels, tanggal 25 Mei, lewat serangan mendadak yang dilakukan pasukan Klungkung, ia tertembak dan meninggal tepat tengah malam. Atas kematian Jendral Michiels, komando pimpinan diserahkan pada Letkol Van Swieten
Sebagai bukti pasukan Mataram telah berhasil mengalahkan Buleleng dan Karangasem. Bertempat di Padang Bai, pimpinan pasukan Mataram, I Gusti Gde Rai pada 28 Mei, menyerahkan tiga buah keris kepada Letkol Van Swieten. Tiga keris itu masing masing milik raja Buleleng, raja Karangasem dan patih I Gusti Jelantik.
Atas jasanya membantu Belanda, Mataram dan Belanda pada 21 Juli 1849, membuat kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal dan pasal terakhir menyebutkan; "Tanpa ijin pemerintah Belanda, Karangasem tidak akan diperkenankan jatuh kepada raja lain, kecuali raja Mataram". (Parimartha:2011;34)
Dengan adanya perjanjian itu, maka sah sudah Karangasem milik Mataram. Menindaklanjuti hal tersebut, raja Mataram akhirnya mengirim dua orang keponakanya untuk mulai memerintah di Karangasem. Dua kemenakanya itu bernama I Gusti Gde Putu dan I Gusti Gde Oka.
Demikian kisah singkat Mataram dalam usahanya menempatkan Karangasem dalam wilayah kekuasaanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H