Teknologi saat ini merasuk secara masif dalam kehidupan manusia. Tiada terkecuali dalam bidang musik. Sekarang, saat ini, detik ini juga, dengan internet, kita bisa mengunduh lagu apapun yang kita inginkan (selama lagu tersebut ada di internet). Sebuah penemuan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat tahun 1969 yang bernama internet inimerubah dunia seiring dengan perkembangannya dari tahun ke tahun. Dan dengan logika sederhana, saya berkesimpulan dunia tidak akan seperti saat ini tanpa hadirnya internet.
Menengok kebelakang, sebelum internet berkembang seperti saat sekarang ini, vinyl dan kaset menjadi medium yang populer untuk mendengarkan musik. Saya lahir jauh sesudah kehadiran 2 medium ini berkembang di masyarakat, tapi setidaknya saya mengalami masa dimana kaset jadi komoditas utama dalam industri musik saat itu. Rasanya generasi remaja saat ini tidak cukup banyak yang familiar dengan kaset dan vinyl. Hal ini cukup terbukti lewat wawancara Nastasha Abigail, yang dikenal sebagai penyiar di sebuah radio swasta Jakarta, dalam teaser video acara “Cassette Store Day 2013”, sebuah proyek yang dibuat oleh Nastasha Abigail bersama dengan pasangannya, Dimas Ario, dibawah bendera “Pasangan Baru”. Dalam video tersebut Abigail seperti melakukan research kecil-kecilan dengan mewawancarai beberapa anak-anak usia kisaran 7-15 tahun, yang rata-rata masih menginjak bangku SD – SMP. Pertanyaan yang diajukan pun relatif sederhana, mulai dari “Kamu suka dengerin musik?”, “Biasanya suka dengerin pake apa?”, dan sampai pada pertanyaan yang menyerempet tentang kaset, sampai memberikan clue tentang kaset tape dengan ciri-cirinya yang berbentuk persegi panjang dan ada pitanya, mereka menjawab tidak tahu kaset yang dimaksud. Jawaban anak-anak tersebut hampir semua menginterpretasikan kaset sebagai CD (Compact Disc) sampai DVD Film. Generasi saat ini memang lebih akrab dengan CD atau alih-alih jauh lebih akrab dengan file digital mp3 sebagai media untuk mendengarkan musik.
Beberapa waktu belakangan ini di Indonesia, akhirnya muncul kembali kepermukaan artefak-artefak musik era lampau yang dirilis oleh para musisi skena independen Indonesia. Sebut saja White Shoes & Couples Company, C’mon Lennon, Efek Rumah Kaca - Pandai Besi, Seringai, The SIGIT, rumahsakit & Marcel Thee. Para musisi ini merilis album-album mereka dengan format vinyl dan kaset. Efek Rumah Kaca yang merilis kembali album mereka “Kamar Gelap” (2008) dan band metamorfosa Efek Rumah Kaca, Pandai Besi lewat album Daur Baur (2013) dengan format kaset dan vinyl. Serta nama terakhir yang saya sebutkan diatas, Marcel Thee, lewat proyek-proyeknya diluar Sajama Cut, merilis album-album Roman Catholic Skulls, Strange Mountains, ataupun solo project-nya dengan format kaset dan vinyl. Dan satu hal yang cukup menarik, Marcel Thee lewat Strange Mountains merilis album “Childhood” (2013) dalam format CD dengan bonus 1 track yang ada didalam sebuah disket (floppy disk). Tidak lazim tapi kreatif!
Dalam sebuah episode talkshow televisi di sebuah televisi swasta yang dipandu oleh mantan VJ MTV 90’an, Sarah Sechan, dengan nama acaranya yang menggunakan namanya sendiri, menampilkan band White Shoes & The Couples Company. Saat ditanya rencana untuk tahun 2014 ini, yang terdekat mereka akan merilis album “Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah” (2013) dalam format vinyl 7”. Dan alasan mereka merilis dalam format vinyl 7” menurut sang vokalis, Aprilia Apsari, karena memang media vinyl atau piringan hitam lebih awet secara kualitas dan ditambahkan oleh Ricky Virgana, bahwa sejarah pertama kali orang dapat mendengar musik tanpa live adalah lewat vinyl. Dengan merilis rilisan vinyl ini, bagi saya pribadi semakin memantapkan image ”vintage” album “Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah” milik White Shoes & The Couples Company ini, mungkin alasan lainnya karena efek vintage dari studio Lokananta, sebuah studio bersejarah yang banyak menyimpan banyak harta karun musik Indonesia dalam format piringan hitam, studio dimana album “Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah” ini direkam. Dan apabila rencana ini terwujud, maka ini kali keduanya White Shoes & The Couples Company membuat rilisan vinyl setelah di tahun 2012, White Shoes & The Couples Company juga merilis album “Vakansi” (2010) mereka ke format vinyl.
Sekarang ini saya juga tidak menampik bahwa saya mendengarkan musik lewat medium yang populer saat ini, CD & file digital. Kalau kita mau melihat kenyataan yang ada, rasanya posisi CD pun saat ini juga semakin terancam eksistensinya, dengan indikator semakin banyaknya toko CD yang tutup dalam beberapa tahun terakhir ini, dan yang terakhir cukup heboh ketika tutupnya Toko CD Aquarius Mahakam pada akhir tahun 2013 kemarin. Entah mungkin berapa dekade lagi saat teknologi lebih jauh lagi berkembang, posisi CD akan semakin tergeser lewat medium baru yang akan ditemukan, yang membuat orang-orang tidak perlu memiliki rilisan fisik untuk mendengarkan lagu (sekarang pun sedikit banyak sudah terwujud dengan sistem album digital yang dijual di online music store seperti iTunes), dan sampai pada titik dimana CD menjadi artefak musik dan dirilis kembali oleh para musisi-musisi masa depan, layaknya apa yang terjadi saat ini pada kaset dan vinyl. Bagi para penikmat sampai taraf penggila musik, munculnya kembali rilisan-rilisan fisik dengan medium yang old school seperti kaset dan vinyl ini memang menjadi barang “buruan” duniawi yang utama, dan rasa-rasanya memang tiada lengkap mendengarkan musik tanpa memiliki rilisan fisiknya, suatu kenikmatan atau kebanggan tersendiri bisa memiliki rilisan walaupun harus merogoh kocek lebih dalam (atau mungkin juga sebagai investasi di masa mendatang?).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H