Mohon tunggu...
Grace Olivia
Grace Olivia Mohon Tunggu... -

Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Embun dan Matahari

9 Maret 2011   09:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12996621561061105894

Kisah Embun dan Matahari

Pagi ini seperti biasanya aku berada di taman kota untuk menikmati kehangatan matahari yang menimpa wajahku dan kelembutan embun yang dapat kurasakan setiap kaki telanjangku menapaki rumput.

Aku agak terlambat hari ini. Garis-garis cahaya matahari mulai bertambah jelas dan embun-embun yang memantulkan bias-bias sinar matahari, menjadi lebih indah berkilau. Tapi sayang, kilaunya hanya sesaat saja. Ketika matahari makin bergerak tinggi, embunpun menghilang. Aku mencari embun sampai ke pojok-pojok taman tapi tak kutemukan. Kucari di semak-semak mawar, tapi embun benar-benar telah pergi dan hanya menyisakan sedikit kelembaban di atas daun-daun. Aku sedikit kesal, karena aku belum puas bermain-main dengan embun.

Akupun segera menjumpai pohon pinus yang telah ratusan tahun menghuni taman kota. Pinus yang kupangil Bunda Pinus. Meskipun telah berusia lebih dari 3 abad, Bunda Pinus tetap saja cantik. Kulit coklatnya sangat pas dengan warna hijau daun yang menutupi seluruh tubuh kokohnya. Pada Bunda Pinus, aku biasa menumpahkan segala keluh kesah, karena dia selalu sabar dan tanpa lelah mendengarkanku. Darinya aku juga mengetahui banyak kisah. Setelah ratusan tahun menghuni taman ini, tentu banyak peristiwa yang sudah dia lewati. Dan bukan tidak mungkin dia juga tahu ke mana embun menghilang.

“Katakan padaku, Bunda Pinus, ke mana embun menghilang?” Pertanyaan itu segera kulontarkan begitutiba di bawah rindang daun hijaunya.

“Kisah sedih, kisahyang sedih sekali.” Bunda Pinus berkata berulang-ulang. Pucuknya menggeleng-geleng prihatin. Aku tak mengerti, memang betul menghilangnya embun yang kedatangannya kunantikan, selalu menyisakan rasa kehilangan, tapi itu bukan berarti kisah sedih, karena bisa dipastikan, aku akan bertemu embun besok hari.

“Pernahkah kuceritakan padamu tentang kisah embun dan matahari?”

Aku menggeleng. Sudah ratusan kisah yang Bunda Pinus ceritakan padaku, tapi seingatku , belum sekalipun dia menceritakan kisah embun dan matahari.

“Apa yang kau rasakan ketika bertemu embun dan matahari di pagi hari?” Bunda Pinus kembali bertanya padaku.

“Kehangatan dan kelembutan.”

“Takkah kau merasakan cinta?”Bunda Pinus bertanya sambil mengerak-gerakan dahannya.

Aku menatap Bunda Pinus dan mengulang kembali perkataannya: “Cinta?”

“Ya cinta. Duduklah, akan kuceritakan padamu kisah cinta yang penuh pengorbanan.”

Aku pun duduk di akar-akar pinus tua itu dan menyandarkan diriku ke batang kokohnya.Daun-daun tipisnya melindungku. Serasa dalam dekapan Ibu! Bunda Pinus mulai bercerita tentang Embun dan Matahari. Inilah cerita Bunda Pinus.Tak kutambahi dan tak kukurangi satupun dari kata-katanya.

Dibatas cakrawala, dimana matahari berawal dan berakhir, ada sebuah kerajaan megah, bernama Kerajaan Cahaya. Raja Siang dan Ratu Kemilau memerintah di Kerajaan Cahaya. Mereka mempunyai seorang putra tampan yang menjadi kebanggaan. Putra itu bernama Matahari -ya, Matahari yang selalu kau lihat kehadirannya setiap hari, yang selalu bisa kau rasakan kehangatannya - Pangeran negeri Cahaya.

Pangeran Matahari merupakan seorang anak dambaan setiap orang tua; sangat baik, penurut, tangkas dan sangat pintar. Sebelum berusia tiga tahun, Pangeran Matahari sudah pandai menunggang Musganus[1]. Musganus adalah sejenis kuda, tapi bukan seperti kuda yang setiap hari kau

lihat menarik bendi[2]. Musganus Pangeran Matahari sangat besar. Kulitnya berwarna oranye, ekornya adalah nyala api, surai di atas kepalanya adalah percikan kembang api dan matanya merupakan sepasang batu bara hitam dengan garis-garis merah, sedangkan giginya adalah sederetan bintang. Dan Musganus milik Pangeran Matahari adalah yang paling indah diseluruh kerajaan Cahaya.

Sejak kecil, kedua orang tuanya telah mengajarkan Pangeran Matahari untuk bersahabat dengan planet biru yang bernama Bumi. Planet ini adalah kesayangan Raja dan Ratu negeri Cahaya. Planet rapuh yang selalu saja membutuhkan mereka. Pangeran Mataharipun sangat mencintai Bumi. Setiap hari, dengan menunggang Musganus, Pangeran Matahari mengunjungi Bumi yang selalu menantikan kunjungannya. Tak jarang Pangeran Matahari membantu Bumi mengusir Awan Hitam pembawa hujan badai yang suka mengusik. Tapi Pangeran Matahari juga mengerti, ada saatnya Bumi membutuhkan curahan hujan yang lembut. Bila saat-saat seperti itu datang, maka dengan senang hati Pangeran Matahari akan mempersingkat kunjungannya ke Bumi dan membiarkan hujan lembut bermain-main dengan Bumi. Putri-putri Pelangi juga merupakan sahabat baik Pangeran Matahari. Sesekali Pangeran Matahari akan terlihat bermain dengan akrabnya dengan peri-peri Pelangi. Mereka senang sekali bermain Bak-bak Sambunyi[3] di antara awan-awan putih yang suka duduk bergerombol sambil bergosip.

Di suatu pagi, saat mengunjungi Bumi, Pangeran Matahari berjumpa seorang putri cantik. Perjumpaan sesaat saja, karena dengan cepatnya Putri itu menghilang. Pagi berikutnya, Pangeran Matahari bertemu dengan Putri yang sama, dan seperti hari sebelumnya, Putri itupun menghilang sebelum Pangeran sempat memperkenalkan dirinya.

Pada Bumi Pangeran Matahari bertanya, “Siapakah Putri yang selalu mengujungimu dipagi hari?”Bumi yang juga sahabat putri pencuri hati Pangeran Mataharipun membuka rahasia. Dia adalah Putri Embun dari kerajaan Fajar. Ayahnya adalah Raja Angin dan ibunya adalah Ratu Senja.

Putri Embun juga mengunjungi bumi setiap hari. Bila mengunjungi Bumi, dia senang berjalan-jalan sambil menyentuh bunga-bunga dan rerumputan. Dia juga suka singgah pada setiap ranting pohon dan meniupkan angin segar pada semua mahluk. Gaun kabutnya berwarna putih cemerlang dihiasai intan selembut air, melayang-layang indah setiap dia melangkah dengan anggun. Mata sayu yang selalu basah membuat semua ingin menyentuhnya dan membuatnya bahagia. Putri Embun memang sangat lembut, bahkan bila jari-jarinya menyentuhmu, engkau dapat merasakan kelembutannya sampai ke dalam hatimu.

(Dahan-dahan Bunda Pinus yang ditiup angin mulai mendendangkan sebuah lagu)

Ada sebuah cerita

Tentang Embun dan Matahari

Pertemuan ditiap pagi

Menumbuhkan cinta di hati

Ada sebuah kisah

TentangEmbun dan Matahari

Meniti cinta di atas sehelai jala

Yang dirajut laba-laba

Ya, Pangeran Matahari dan Putri Embun selalu bertemu disetiap pagi. Pagi yang mempertemukan mereka, pagi pula yang memisahkan mereka. Pertemuan singkat mereka tiap harinya menumbuhkan cinta di hati. Pangeran Matahari dan Putri Embun menjalin kasih.

Tapi ketika cinta diatara mereka semakin kuat, pertemuan di setiap pagi serasa tak cukup lagi. Pangeran Matahari dan Putri Embun ingin sekali membangun kebersamaan sebagai sebuah keluarga bahagia dan melewatkan sepanjang hari bersama. Keinginan yang sangat menyakitkan. Betapa tidak, Putri Embun sangat kesakitan bila Pangeran Matahari berada terlalu dekat dengannya. Bukan itu saja, jubah Pangeran Matahari yang dirajut dari percikan-percikan api selalu membuat mata Putri Embun kering dan perih. Kesakitan yang sama juga dialami Pangeran Matahari. Dia akan merasa dingin yang membekukan bila berada terlalu dekat dengan Putri Embun. Cinta indah mereka jadi terasa begitu menyiksa.

Hingga suatu ketika Pangeran Matahari dan Putri Embun tak kuasa lagi memendam keinginan untuk hidup bersama.Berdua sepakat menghadap Sang Bijak yang berdiam di puncak Gunung Lokon[4]. Sang Bijak dikenal sebagai pemberi solusi terbaik. Banyak sekali persoalan-persoalan yang telah dia pecahkan.

“Mungkin saja dia mempunyai pemecahan yang terbaik bagi persoalan kita” begitu yang dipikirkan oleh Pangeran Matahari dan Putri Embun.

Mereka berdua menghadap Sang Bijak. Pangeran Matahari diatar RatuSiang dan Putri Embun diantar Ratu Senja.

Dengan penuh harap Pangeran Matahari dan Putri Embun dudukdepan Sang Bijak.Pangeran di sisi Barat dan Putri di sisi Timur. Kasihan, mereka bahkan tak dapat duduk berdampingan.

“Apa yang harus kami lakukan untuk mempertahankan cintakami?”Pangeran Matahari bertanya dengan kesedihan penuh.

“Apa yang harus kami lakukan untuk dapat bersatu?” Putri Embun yang tak kalah sedihnya juga bertanya.

Hening sesaat, sebelum akhirnya Sang Bijak berkata:

Adakah yang dapat memadamkan api selain air?

Adakah yang dapat melenyapkan air selain api?

Pangeran dan Putri saling menatap. Kedua Ibu merekapun saling menatap, bingung tak mengerti. Sang Bijak melanjutkan perkataannya:

“Air dan Api akan saling melenyapkan dalam sentuhan pertama.”

(Dahan-dahan Bunda Pinus yang ditiup angin mulai mendendangkan sebuah lagu lagi, kali ini lagu sedih)

Embun dan Matahari

Takkan pernah bisa bersatu

Bukan karena tak ada restu

Tapi takdir mereka jauh berlari

“Tak adakah jalan yang lain?” Pangeran Matahari masih berharap.

“Tak ada selain perpisahan atau kehancuran.”

“Tak adakah kompromi?” Putri Embunpun masih merajut asa.

“Tak adaselain perpisahan atau kebinasaan.”

Pangeran Matahari menatap Putri Embun dengan sedih, “Kita hanya akan saling menghancurkan, bila kita terus menyimpan cinta ini. Aku sangat mencintamu Putriku, dan ku tak akan pernah sanggup untuk menyakitimu apalagi menghancurkanmu.”

Mata Putri Embun semakin basah. Kemudian tangisnya pecah berkeping-keping menjadi kristal - kristal air mata, “Akupun tak akan pernah sanggup membiarkan diriku melukaimu, Pangeranku.”

Akhirnya Pangeran Matahari dan Putri Embun kembali ke kerajaan masing-masing dengan hati yang hancur. Keberuntungan tak berpihak kepada mereka. Cinta yang tak bertepuk sebelah tangan dan yang direstui kedua orang tua ternyata tak dapat bersatu. Sungguh tragis. Lebih tragis dari kisah Romeo dan Julie. (Sungguh.. Aku tak tahu dari mana Bunda Pinus mengetahui kisah Romeo dan Julie, tapi berani sumpah, ini benar-benar keluar dari mulut Bunda Pinus.)

Sejak kembali dari menemui Sang Bijak Pangeran Matahari terus mengurung diri di kamarnya. Dibiarkannya Musganus merana kebosanan dalam kandang dan Bumi gelap gulita tanpa sinar. Di siang hari, Awan Hitam pembawa hujan badai dengan leluasa mengobrak abrik Bumi. Tak ada Pangeran Matahari yang suka mengusik saat dia sedang bersuka ria. Banjir di mana-mana, malapetaka di mana-mana. Bumi muram, Bumi bersedih.

Tak beda halnya dengan Putri Embun. Sejak kembali dari gunung Lokon tak sekalipun dia beranjak dari pembaringanya. Tak ada lagi hembusan angin segar untuk Bumi disetiap pagi. Tak ada lagi kemilau indah di atas daun saat Putri Embun memantul - mantulkan garis-garis cahaya. Pangeran Matahari dan Putri Embun masih tetap berduka, karena cinta mereka tak akan pernah mungkin bersatu. Dan Bumi semakin merana ditinggal kedua sahabatnya itu.

Manusia-manusia penghuni Bumipun mulai gelisah. Mereka memohon kepada Tuhan dan semua dewa-dewi yang mereka sembah, untuk membujuk Pangeran Matahari dan Putri Embun, agar kembali ceria, seperti dulu.

Raja dan Ratu Kerajaan Cahaya dan Kerajaan Fajarpun tak kalah paniknya. Mereka terus berpikir, apa yang harus dilakukan untuk dapat membujuk anak-anak mereka sehingga luka cinta tak menghancurkan mereka. Raja dan Ratu kedua kerajaan tersebut kembali menemui sang bijak. Meminta petujuk dan nasihat.

“Bantulah kami, agar dapat memberikan pengertian bijaksana bagi putra-putri kami.” Demikian permintaan mereka.

“Cinta! Cinta mereka pada Bumi dapat menyelamatkan semuanya.” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Sang Bijak.

Raja dan Ratu dari Kerajaan Cahaya dan Kerajaan Fajar kembali ke kerajaannya masing-masing menggenggam erat nasihat Sang Bijak. Dengan halus lembut kedua Ibunda mencoba membujuk Putra Putri mereka.

(Dahan-dahan Bunda Pinus yang ditiup angin mulai mendendangkan sebuah lagu lain)

Bumi merindukan Matahari

Merindukan kehangatan pelukannya

Bumi mendambakan Embun

Mendambakan kesejukan belaiannya

“Apa yang terjadi selanjutnya, Bunda?” Tanyaku tak sabar ingin mendengar akhir kisah ini.

“Pengorbanan yang mulia, sangat mulia.” Bunda Pinus menjawab sambil membelai-belai rambut yang jatuh di wajahku dengan ranting-ranting coklatnya. Bundapun kini meneruskan kisah.

Pangeran Matahari dan Putri Embun memiliki hati Emas murni. Walaupun pedih di hati karena cinta tak dapat menyatukan mereka, Pangeran Matahari dan Putri Embun sadar, bahwa di atas cinta mereka, ada Bumi. Bumi rapuh yang sangat membutuhkan kehadiran mereka berdua. Tanpa mereka, Bumi akan hancur menjadi puing-puing batu. Pangeran Matahari dan Putri Embun membuat suatu kesepakatan.

“Demi Bumi, biarlah kami saling mencintai dari jauh. Dan biarlah pagi menuntaskan segala kerinduan kami.” Itu kesepakatan yang mereka tulis pada sebuah Bintang besar dan menggantungkannya di angkasa.

“Itu sebabnya udara pagi selalu segar dan penuh cinta, karena saat itulah Embun dan Matahari bertemu menuntaskan rindu. Dan bila malam tiba, mereka akan memandang bintang tempat mereka menuliskan janji.

“Apa aku bisa melihat bintang mereka?” Aku kembali bertanya.

“Yah, kau dapat melihat bintang itu”

“Bagaimana caranya?”

“Bila malam tak berawan, carilah bintang yang bersinar paling terang. Itulah dia. Tanda peringatan bagi mereka berdua dan pembelajaran bagi yang lainnya. Kaupun dapat belajar dari Matahari dan Embun bagaimana mencintai dengan tulus tanpa pamrih.” Kata Bunda Pinus mengakhiri kisahnya.

Aku menengadahkan kepalaku, menatap pucuk hijau Bunda Pinus yang terus bergoyang. “Terima kasih buat kisahnya hari ini, Bunda.”Kataku sebelum pamit. Sudah hampir dua jam aku duduk dalam dekapan Bunda Pinus dan mendengarnya bercerita. Kuluruskan tubuhku yang melengkung malas. Kudengar tulang-tulang belakangku berbunyi. Matahari semakin tinggi. Garis-garis cahayanya makin tegas.

Sambil berjalan pulang Aku terus membayangkan Pangeran Matahari sedang menunggang Musganusnya berjalan mengelilingi Bumi, menyebarkan cinta dan kehangatannya, Putri Embun dengan gaun kabutnya yang sangat lembut, menyentuh Bumi dan membawa kesejukan. Sebenarnya mereka adalah pasangan yang sempurna. Sayang sekali, takdir tak dapat mempersatukan cinta mereka.

“Ahhh, betapa mulianya mereka, rela mengorbankan cinta demi Bumi.” Tak terasa mataku basah.

Psssst between us:

“Bila Matahari dan Embun rela mengorbankan cinta mereka demi keselamatan bumi, apa yang sudah atau yang akan kita (manusia) korbankan untuk menyelamatkan bumi, menyelamatkan ‘rumah kita’?

Tomohon, Awal Februari 2008

(Bila cinta tak dapat bersatu, tak berarti cinta harus mati)

[1] Musganus (mLsgenyus): Sejenis Kuda yang hanya hidup di Kerjaan Cahaya (GraceO’Nelwan Dictionary)

[2] Kereta beroda dua yang ditarik seekor kuda. Bendi merupakan alat transportasi trad. Sulawesi Utara yang ramah lingkungan, tapikini tak dapat bersaing lagi dengan ojek dan mikrolet. Padahal Ojek dan Mikrolet penyumbang Co2 yang cukup setia.

[3] Permainan ‘Hide and Seek’ atau ‘Petak Umpat’ (Melayu Manado)

[4] Gunung berapi yang berlokasi di Tomohon (± 25 km dari Manado, Ibu Kota Sulawesi Utara)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun