Oleh: Syamsul Yakin (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) & Gefira Rahima Ataufiqi (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Antropologi dakwah terdiri dari dua kata, yakni antropologi dan dakwah. Untuk memberi definisi antropologi dakwah, perlu dijelaskan kembali tentang definisi antropologi dan definisi dakwah. Perlu ditegaskan kembali di sini bahwa antropologi  adalah ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya. Dalam melakukan kajian terhadap manusia, antropologi mengedepankan dua konsep penting, yaitu: Holistik dan Komparatif. Tujuannya adalah untuk lebih memahami secara totalitas dan mengapresiasi manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun saat ini.
Â
Definisi tersebut menggambarkan secara umum bahwa antropologi menelaah manusia.
Sedangkan dakwah, secara bahasa, Â berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Dalam bahasa Indonesia kata dakwah berarti memanggil dan menyeru. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kegiatan dakwah melibatkan manusia, baik da'i (yang mendakwah) maupun mad'u (yang didakwahi). Jadi, secara implementatif, dakwah merupakan kerja dan karya besar manusia.
Da'i adalah manusia berbudaya yang memberikan pedoman kepada masyarakat yang disampaikan secara lisan, tulisan, maupun perbuatan, yang semua itu adalah pengetahuan dan  ajaran tentang keyakinan. Produk kebudayaan dakwah itu sendiri adalah kelakuan dan hasil kelakuan gerakan dakwah secara kontemporer. Isi kebudayaan dakwah adalah konsep, teori, dan metode yang disampaikan da'i kepada mad'u.
Jadi antropologi dakwah secara sederhana adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia yang diatur oleh pesan-pesan dakwah dari sudut pandang budaya melalui proses dakwah. Ruang lingkup antropologi dakwah mengkaji satu bidang antropologi sosial atau antropologi budaya yang memusatkan studi pada manusia dengan kehidupannya, manusia dan kebudayaannya, termasuk juga manusia dengan gejala dakwah.
Sebagai produk budaya, dakwah memiliki relevansi dengan bagaimana pandangan masyarakat mengenai dakwah. Sebagian masyarakat ada yang memandang bahwa dakwah merupakan keharusan rasional, sebagian lagi menganggap keharusan sosial dan kultural. Sedangkan, tidak sedikit yang memandang bahwa dakwah adalah keharusan teologis, kewajiban agama yang terkait pahala dan dosa. Â
Selanjutnya, antropologi dakwah bertujuan mencari batasan lebih empiris terhadap kajian dakwah dari sebuah keharusan teologis menjadi keharusan antropologis (kemanusiaan). Antropologi dakwah juga bertujuan mencari batasan lebih empiris terhadap kajian dakwah dari sebuah keharusan sosial menjadi keharusan personal. Antropologi dakwah bertujuan membantu tercapainya tujuan dakwah yang berbasis budaya yang ada pada manusia dengan segenap cipta, rasa, dan karsa.
Objek kajian antropologi dakwah tentu berbeda dengan objek kajian sosiologi dakwah. Jika objek kajian sosiologi dakwah adalah lembaga dan kelompok sosial serta masyarakat, maka objek kajian antropologi dakwah ditujukan untuk budaya yang ada pada manusia, secara personal dan komunal. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa objek kajian antropologi dakwah sama dengan objek kajian antropologi. Yakni, berusaha mempelajari, menganalisis dan mendeskripsikan manusia secara holistik.
Kalau metodologi penelitian sosiologi dakwah lebih dipusatkan pada kuantitatif daripada kualitatif karena sosiologi dakwah mempelajari kehidupan masyarakat dan harus menggunakan data statistik untuk mendapatkan data yang orisinil dan valid, maka berbeda dengan  metodologi penelitian antropologi dakwah. Metodologi penelitian antropologi dakwah menggunakan deskriptif, kualitatif, holistik, dan komparatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H