Anak pertama saya terlahir dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Sempat terjepit di jalan lahir, akhirnya operasi caesar dilakukan. Ternyata, dia sudah stres di dalam kandungan, air ketuban masuk ke paru-parunya. Dengan kondisi yang sedikit membiru, tanpa tangisan dan berkepala lonjong karena terjepit, anak saya memerlukan penanganan yang lebih pasca dilahirkan.
Inkubator pun menjadi rumahnya selama sembilan hari. Air mata tak tertahankan melihatnya lemah dan sering kejang di dalam kotak kaca itu. Dua tahun anak pertama saya ini sakit-sakitan, bolak-balik, gonta-ganti dokter dan rumah sakit.
Selain itu, dia adalah anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Nantinya dia akan menjadi penerus keluarga karena di Bali menganut sistem patrilineal. Harapan saya dan keluarga sangat besar padanya.Â
- Memanjakannya. Sebagai anak pertama dan ternyata sudah menerima cobaan cukup berat di hari hari pertamanya, ingin sekali rasanya saya memberikan segalanya untuknya. Sepertinya, apa pun yang dia minta, akan sebisa mungkin saya berikan.
Namun, saya sadar, jika terlalu memanjakannya, dia bisa tumbuh jadi anak yang tidak mandiri. Apalagi kelak dia akan menjadi kepala keluarga, sudah semestinya, karakter mandiri adalah hal mendasar yang kelak harus dimiliki.
- Memingitnya. Tentu saja saya ingin menjaganya dari segala kemungkinan sakit. Mesti jarang keluar rumah. Dia tidak boleh kedinginan, kepanasan, kena debu dan hal lain yang bisa membuat sakitnya kambuh.
Namun, saya memilih untuk membuatnya lebih dekat dengan alam. Dia bebas mau main apa saja, asalkan tidak berbahaya, semuanya boleh. Bukannya sakit, dia justru semakin sehat karena banyak bermain di tanah. Tangannya kuat karena sering manjat pohon. Kakinya cekatan mengayuh sepeda di umur belum genap 2 tahun. Menyeberangi kolam renang dengan gaya bebas juga bisa dia lakukan di umur 3 tahun.
Melompat dari jembatan setinggi 4 meter. Dokpri - Menentukan yang terbaik. Wajarlah, sebagai orang tua saya punya pemikiran bahwa saya lebih tahu apa yang terbaik untuk anak. Anak harus ikut apa mau saya, karena itulah yang terbaik.
Tapi tidaklah itu yang terjadi, saya mengerti kalau terbaik untuk saya belum tentu terbaik untuknya. Dia boleh memilih apa yang dia suka dan menjadi yang terbaik menurut minat dan bakatnya.
- Menyuruhnya belajar, belajar dan belajar. Wajar dong sebagai orang tua saya ingin punya anak yang rajin belajar. Tiap harinya dia mesti pegang buku, menulis PR, menghapal perkalian dan sebagainya.
Namun faktanya, saya cenderung memintanya banyak bermain. Bukan berarti belajarnya nol, tapi saya percaya bahwa cara terbaiknya belajar adalah dengan bermain. Lagi pula, masa kecil takkan terulang, saya lebih suka dia menghabiskan masa kecilnya dengan lebih banyak bermain. Agar tidak ada istilah masa kecil kurang bahagia.
- Memintanya dapat rangking di sekolah. Syarat ini harusnya terpenuhi. Malu dong punya ayah, mama, kakek, nenek, paman dan bibi jadi guru, kalau tidak berprestasi di sekolah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!