Mohon tunggu...
GEDE SUARNAYA
GEDE SUARNAYA Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Peminat Masalah Reformasi Birokrasi, Keuangan Negara, Administrasi & Kebijakan Publik, serta Manajemen Strategi.\r\nSemoga bisa memberikan i\r\nnspirasi dan manfaat bagi kita semua.\r\nBlog Pribadi: www.gedesuarnaya.com.\r\nTwitter@gedesuarnaya\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gara-Gara Utang!

9 November 2011   09:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Jadi, di negara manapun di dunia ini, Pajak tetap menjadi tulang punggung dalam meningkatkan perekonomian suatu negara termasuk dalam upaya dalam mengatasi krisis ekonomi"

Yunani seperti kita ketahui memang sedang dilanda krisis ekonomi. Namun, kabarnya krisis Yunani sudah sampai ke Italia. Seperti yang diberitakan Kompas, 05/11/2011, Efek Domino krisis ekonomi Yunani sudah menjalar ke Italia, sehingga para pemimpin dunia yang tergabungdalam G20 mendesak Eropa untuk menghentikan krisis di Italia agar tidak mengikuti Yunani terjebak dalam krisis hutang.

Kondisi Yunani sekarang bisa diibaratkan bagai seorang nasabah kartu kredit yang sedang diburu debt collector, panik tak karuan dan mengganggu tetangga dan teman kantor karena saban hari di telpon dan ditanyai debt collector. Utang yang dimiliki sudah jatuh tempo dan membengkak berlipat-lipat. Alhasil, dengan gaya “gali lubang tutup lubang”, utang tersebut dibiarkan menumpuk bertahun-tahun.

Kondisi itulah yang menimpa Yunani, gara-gara hutang ditumpuk, krisis ekonomi datang dan mengacaukan segalanya. “Nyaris hampir 20 tahun, Yunani berada dibawah pemerintahan yang mengadopsi gaya populis.Tentu jaga image itu ada ongkosnya. Bagi Yunani, bentuknya berupa utang utang negara yang mencapai 160% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di akhir tahun 2011. Sedang defisit anggaran setara 15,4% dari PDB”, demikian tulis Tajuk Harian Kontan, 07 November 2011.

“Lebih Besar Pasak Daripada Tiang”

Secara Mikro  dalam pengelolaan keuangan pribadi, pengeluaran yang melebihi pemasukan seringkali membawa kita ke dalam jurang utang yang sangat dalam. Jurang utang itu pula yang bisa membuat kita hidup dalam penderitaan. Sejatinya, gaya hidup kita lah yang menentukan kualitas hidup kita. Mau bergaya hidup mewah atau sederhana, semua itu adalah pilihan. Dengan gaya hidup sederhana kita bahagia, kenapa harus mewah?. Alih-alih ingin mengikuti tren, kita malah terjebak ke dalam gaya hidup hedonis yang secara tidak sadar mengeruk pundi-pundi keuangan kita. Kuncinya jangan “lebih besar pasak daripada tiang”. Jangan memaksakan pengeluaran yang tidak mampu kita tutupi pembayarannya. Kata penghematan merupakan jurus terakhir jika  mengalami krisis.

Perkuat Pajak

Secara Makro, utang Yunani yang terlalu besar  itu bisa memicu krisis ekonomi dunia, tak terkecuali negeri kita. Pengeluaran APBN  yang tidak diimbangi penerimaan negara dari Pajak akan membuat rasio utang semakin besar. Untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah akan mencari alternatif lain melalui utang luar negeri dan hibah. Apalagi kalau pengeluaran APBN  habis hanya untuk membiayai Belanja Pegawai Negeri Sipil ketimbang membiayai kesejahteraan rakyat. Sistem kebut semalam tampaknya sudah menjadi ritual khusus  menjelang detik-detik akhir  tahun anggaran.  Akhirnya pemborosanlah yang menjadi ritual penutup tahun anggaran. Untuk diketahui, pada APBN Tahun Anggaran 2012, penerimaan dari Pajak direncanakan mencapai 1.019,3 Triliun Rupiah, atau memberi kontribusi hampir 80 persen dari total pendapatan negara dan hibah sebesar 1.292 Triliun Rupiah.

Apabila penerimaan Pajak kita lemah, tidak mustahil kita akan terus digerogoti utang dan menunggu krisis menghampiri negeri kita. Begitu pentingnya peranan Pajak bagi kelangsungan hidup bernegara, sudah sepantasnyalah kita harus bangun dari ketidaksadaran akan pentingnya Pajak. Sudah cukup kita “diinabobokan” oleh kasus Gayus, sampai-sampai “mati rasa” terhadap Pajak. Bagi saya, kesadaran kolektif masyarakat saja tidaklah cukup, jika tidak didukung oleh kesadaran kolektif para pemimpin di negeri ini dalam menggunakan uang Pajak.

Namun, jika kesadaran fisik sudah tidak mempan lagi, maka diperlukan kesadaran jiwa (bawah sadar) atau subconcius. Menurut Irmansyah Effendi dalam buku Kesadaran Jiwa : Teknik Efektif Untuk Mencapai Kesadaran Yang Lebih Tinggi, “kesadaran jiwa (bawah sadar) atau subconcius adalah kesadaran yang jauh lebih tinggi dari kesadaran fisik. Informasi-informasi bagi kesadaran jiwa pun disimpan secara otomatis di bawah kesadaran kita”. Dengan kesadaran ini, para pejabat di negeri ini akan “terhipnotis”untuk tidak korupsi dan sadar bahwa mereka digaji dari uang rakyat. Mungkinkah?

Jika ingin negeri ini jauh dari krisis, maka penerimaan Pajak merupakan harga mati.Tak hanya bagi Indonesia, Kanselir Jerman Angela Markel seperti yang ditulis Kompas, 05 Nopember 2011, mendesak PM Italia Berlusconi untuk mengurangi pengeluaran negara dan meningkatkan penerimaan Pajak untuk mengurangi beban utang Italia sekitar 1,9 Triliun Euro. Jadi, di negara manapun di dunia ini, Pajak tetap menjadi tulang punggung dalam meningkatkan perekonomian suatu negara termasuk dalam upaya dalam mengatasi krisis ekonomi.  Untuk mewujudkan itu, penerimaan Pajak tidak hanya menjadi tanggung jawab pegawai Pajak atau DJP saja, tetapi sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa ini untuk mencapainya. Tanpa peran serta dan kesadaran rakyat dalam membayar Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  tentu tidak akan berarti apa-apa.

Perlu dingat dan disadari bahwa penggunaan uang Pajak tidak untuk kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu saja, tetapi untuk kepentingan seluruh rakyat dan menjamin kelangsungan hidup bangsa ini. Membenci Pajak hanyalah akan menyengsarakan  dan menghancurkan masa depan bangsa ini.

Oleh :

Gede Suarnaya

(merupakan pendapat pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun