Mohon tunggu...
Gede Nanda
Gede Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat Hindu

Seniman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna "Ngerupuk" sebagai Penolak Bahaya di Sasih Kesanga

28 Maret 2023   17:22 Diperbarui: 28 Maret 2023   17:29 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sasih Kesanga atau yang disebut Cetra Masa, terutama di hari Tilem merupakan hari suci yang diyakini umat Hindu di Bali pada umumnya. Sasih Kesanga biasanya jatuh pada pertengahan bulan Maret, yang dimana masyarakat Hindu di Bali sangat antusias dalam menyambut Hari raya Nyepi di sasih kesanga. berbagai aktivitas keagamaan dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh keselamatan serta keharmonisan antara manusia dan Alam Semesta. 

"Ngerupuk" merupakan rangkaian hari raya Nyepi yang dilaksanakan satu hari sebelum Nyepi. Upacara Ngerupuk dilakukan dengan tujuan untuk menghusir Bhuta Kala atau menetralisir energi negatif dilingkungan rumah dan sekitarnya yang dilakukan pada saat sandhyakala, beriringan setelah melaksanakan pecaruan di pintu masuk rumah ( Lebuh ). 

Berdasarkan lontar SundariGama, pengerupukan dilakukan dengan cara membawa obor-obor yaitu daun kelapa kering yang dibakar ( Geni Saprakpak ), menyemburkan bawang putih dan jangu ( Sumbar Meswi ), menyebarkan nasi tawur, diikuti dengan mantra panolak marabahaya, mantra Panyengker Agung, dan juga diiringi suara kentongan mengelilingi perkarangan rumah dan sekitarnya. 

Membahas tentang "Ngerupuk" tentunya akan terkait dengan upacara-upacara lainnya, karena berbicara soal pangilen tentunya akan saling bertergantungan satu sama lain. Seperti halnya Upacara Melasti yang dilaksanakan pada Pangelong ke-13 sebelum Tilem Kesanga, ialah suatu pangilen yang dilakukan untuk memperoleh Tirtha Amertha ke sumber mata air atau pantai yang nantinya akan diiring kembali ( Budal ) oleh masyarkat ke Bale Agung berserta arca-arca Ida Bhatara se - Desa pakraman. 

Lalu besok di pangelong ke-14 ( Catur Daci ikang Kresna paksa ) dilakukan lah Tawur Agung Kesanga yang dimana Tirtha yang diperoleh pada saat Melasti akan digunakan sebagai pamuput caru di parempatan Desa Pakraman (Catus Pata Ning Desa) dan nanti Tirtha caru tersebut akan dibagikan kepada masyarakat Hindu se-Desa pakraman. Setelah melakukan caru dirumah dan Ngerupuk. Besoknya pada Hari Tilem masyarakat se-Bali melaksanakan Catur Brata Panyepian yang menyimbolkan unsur pemurnian terhadap Alam Semesta berserta isinya. Lalu dipinanggal pertama setelah Tilem baru dilaksanakan Ngembak Geni. 

Pengetahuan yang dibalut kedalam sebuah kebudayaan menghiasi rangakaian Sasih Kesanga yaitu "Ngerupuk". Dengan lokal genius leluhur masyarakat Bali yang diturukan melalui suatu kebiasaan menjadikan keilmuan yang luar biasa, dibentuk menjadi bentuk  upacara namun mencangkup berbagai unsur yaitu ; unsur Religi, unsur Pengetahuan, unsur Teknologi dll. 

Kecerdasan leluhur masyarakat Bali selalu menghadirkan fungsi dan makna disetiap upacara, seperti halnya menggunakan sarana api, bawang putih, jangu, nasi tawur, dan kentongan pada prosesi "Ngerupuk", memberikan pengaruh terhadap perkarangan rumah dan sekitarnya. 

Geni Saprakpak digunakan untuk menghasilkan api dan asap yang nantinya disemburkan bawang putih dan jangu untuk menetralisir energi negatif atau virus yang ada diperkarangan rumah yang diiringi suara kentongan yang membentuk gelombang suara secara beriringan semuanya dilakukan dengan penuh keyakinan. melalui keyakinan menghadirkan kekuatan pikiran atau sugesti kepada alam sekitar dan memunculkan aura dan energi positif pada perkarangan rumah. 

Jika dipandang kedalam sudut pandang logika, upacara Ngerupuk dipercaya sebagai upacara penolak bahaya dan penghusir Bhuta Kala. Apa bila digali lebih dalam lagi maksud dari upacara Ngerupuk di Sasih Kesanga, bisa diartikan bahwa Bhuta yang dimaksud ialah kegelapan atau kebutaan yang ada pada diri manusia serta energi negatif di Alam semesta perlu dinetralisir dengan suatu tindakan, apa lagi kalau tidak tindakan manusia. Simbol api pada pengerupukan menjadi suatu penerang dalam kegelapan agar sang diri memperoleh penerangan didalam kehidupan ini. 

Menaburkan sumbar meswi dan nasi tawur secara tidak langsung memberikan pupuk organik terhadap tanah untuk memperoleh kesuburan, yang dimana dahulu lingkungan perkarangan masyarakat belum memakai batu sikat seperti saat ini, lalu suara kentongan dan mantra panyengker Agung juga dilantunkan agar membentuk frekuensi suara yang di padukan dengan kekuatan pikiran ( power of mind ) menjadikan sebuah sugesti terhadap Alam sekitarnya, karena sejatinya pikiran manusia ini mampu menghasilkan berbagai bentuk energi, baik untuk kesehatan, kesuksesan, maupun kebahagiaan. 

Penolak bahaya sesungguhnya ada pada diri sendiri, namun karena kecerdasan leluhur semua ini diturunkan kedalam bentuk upacara lalu terbalut menjadi suatu kebudayaan yang diwarisi hingga kini oleh masyarakat Bali agar tetap rungu dengan makna yang ada pada upacara "Ngerupuk".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun