Mohon tunggu...
I Gede Joni Suhartawan Suhartawan
I Gede Joni Suhartawan Suhartawan Mohon Tunggu... profesional -

UGM-Fisip; SCTV, TV7, Trans7/TransCorp HJ Production Petani

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membongkar Hulu Stigma "Tukang Pajak"

8 Maret 2012   08:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MIND SETKELIRU TENTANG PAJAK SAATNYA DIKIKIS”

Ternyatamindset mayoritas bangsa ini tentang pajakbelum berubah darijaman kerajaan dan jaman penjajahan hinggazaman kini.Jaman kerajaan dia sering disebut upeti.Kerajaan Majapahit“hidup” dari upeti-upeti yang dikirim dari tanah-tanah perdikan dan wilayah-wilayah taklukan. Parabupati dan raja-raja taklukanmenunjukkan kesetiaannya melaluikerajinan dan besaran jumlah upeti. Jika kebetulan bupatidan raja-raja wilayah itu begitu ambisius mencari muka dan kedudukan ke kerajaan pusatmaka dampaknya adalah rakyat di daerah tersebutbiasanya pastimengalami “pemerasan”melampaui batas demi memenuhi besaran upeti yang “ditetapkan” sendiri oleh pemimpin ambisius tersebut. Perang-perang antar wilayah dan bahkan pembangkangan beberapa kerajaan pesisir kala itu adalah sesungguhnya dikarenakan dampakper-upeti-an ini.

Belanda tinggal melanjutkan hal itu di jaman penjajahan.Spiritnya sama,bentuknya lebih “profesional”.Besaran pajak dilelangkan kepada para kapitan-kapitan, umumnya dari warga Tionghoa dan kepada bupati-bupati atau residen-residen. Siapa yangmengajukan penawaran lebih tinggi dia yang dapatdan menjadi petugas diakui gubernemen sebagai pemungut pajak.Para petugas semiswasta semi pemerintah ini karena posisinya demikian mendapat stigma sebagai sosok‘disayang’ pemerintah dilaknat rakyat. Karena kembali jika mereka terlalu ambisius atau mungkin salah perhitungan atas potensi wilayah kerjanya, maka rakyatlah yang mendapat getahnya untukmembayar pajak demi memenuhi target besaran lelang yangterlanjurketinggian yang dimenangkan si kapitan itu. Stigmapemungut pajak adalah orang berdosa muncul dari sistem perpajakan seperti ini!

Pajak dengan bawaan lahir seperti itulah yang belum berubah hingga kini di Republik ini. Gejala eforia “membantai” petugas pajakmeledak (diledakkan?) dengan riuh rendahnya media massamelaporkan secara spartan temuan “spektakuler” atas kelakuanoknum pegawai kantor pajak bernamaDhana Wdyatmika yang di- branding“The NextGayus”.Bahkan reaksi atas hal ini telah memunculkan wacana gerakan tidak bayar pajak.Kedua fenomenaini bukankah sesungguhnya pencerminan dari mindset kuno kita tentang perpajakan?

Perlakuan kita terhadap perpajakan yangmasih didasari mindset kuno ini akan dengan mudah menghakimipetugas pajak -yang notabene petugas Negara, sebagai si pendosa dan karena itu sah saja diobok-oboksecara “brutal”.Demikian juga wacana gerakan tidak bayar pajak dengan gampang tersulut karena persoalan hulu ini yakni soal mindset dan filosofi perpajakan kita.Harus diakui, spirit kuno perpajakan ini memang bukan monopoli Indonesia.Sejarah di hampir seluruh bangsa-bangsa menampilkan pajak sebagaisesuatu yang “negatif”bahkan “jahat”.

Pajak di masyarakat maju dan modern, walaupunkadang mendapat keluhan sebagai beban mencekik,dipandang sebagaibentuk tanggung jawab –bukanlagi “keterpaksaan”- dari setiap rakyat yang sepakat hidup bersama dalam ikatan satu Negaradan karena itu sepakat pula membiayaikelangsungan hidup bersama tersebut.Hal penting dan salah kaprah di negara seperti kita ini, masih sering di masyarakat bahkan pers, mencampur adukkan antara pemungut pajak dengan pengelolaan pajak.Kantor pajak, yangadalah si pemungut pajakcenderung menjadi sasaran kemarahan atasketidakberesan pengelolaan uang pajak yang notabeneadalah tanggung jawab departemen lain.Orang kebanyakan menuding Kantor Pajaktidak becus “mengelola uang pajak”ketika melihat jalan atau fasilitas umum lainnyayang rusak dan tak terurus.Padahal sudah jelas, Kantor Pajak bukanlah Kantor Pekerjaan Umum misalnya!

Sambil menungguskenario pengenaan pasal tersangka terhadapDW dan pembuktian terbalik yang mungkin harus dilakukan oleh pegawai pemerintah yang “apes” ini,alangkah indahnya media massajuga lebih menampilkan informasi akurat dan menyeluruh tentang perpajakan di negeriini. Persyang sehat tidak bisa selalu berlindung dibalik adanya “hak jawab” atas kesembronoan informasiyang terlanjur dimuat tentang seseorang atau lembaga. Pers juga mesti mendapat pembekalanyang benar tentangsubyekyang akan diangkat. Dalam hal perpajakan ini mungkin saja pengetahuan lika-liku dunia pajak di kalangan pers masih juga di area stigma-stigma negatif akibat mindset kuno tadi. Oleh sebab itu sepertinyaDirektorat Pajak dan Pers perlu bergandengan untuk“bertanggung jawab” terhadap stigma pemungut pajaksebagai sarang si pendosa.Kalau stigmajadul dan berbahaya ini tidak dikikis bersama, saya tidak bisa membayangkan situasi ini : para pegawai pajak “ketakutan dan ngambek” melaksanakan tugasnya, di lain pihak betul-betul akan terjadi gerakan tidak bayar pajak! Bubar Negara !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun