Musim dingin di Belanda kali ini memang benar-benar dingin. Suhu di malam hari bisa mencapai minus 10’C dan di siang hari minus 2’C. Kalo tahun lalu salju turun sebentar hanya 2-3 hari dan itupun meleleh keesokan harinya, di tahun ini salju seperti terus membombardir tiap hari. Tidak hanya di malam hari, sering siang hari pun menjadi sasaran.
Tidur memang asik, nyenyak. Mimpi pun bisa selembut salju.
Buat anak-anak, turunnya salju seperti berkah. Mereka bisa bermain papan seluncur ataupun bermain timpuk-timpukan dengan bola saljunya. Tapi buat yang harus kerja ataupun sekolah keesokan harinya? Siap-siaplah menahan dingin.
Di musim dingin ini, seperti menjadi rutinitas pagi untuk menahan dinginnya udara sambil menunggu datangnya transport. Semua orang seperti mencari posisi yang pas untuk menahan hembusan dinginnya angin. Tangan juga pasti dimasukkan ke saku supaya nggak dingin. Pokoknya, tutupin aja semua badan supaya ngak kedinginan.
Itupun masih beruntung kalo kereta, trem ataupun bis datang. Bisa-bisa kita kembali pulang ke rumah akibat tiadanya transportasi. Atau kalo malah lebih sial, bisa berangkat ngantor, tapi ngak bisa pulang….repot kan.
Saking tebalnya salju di Belanda dan sejumlah negara Eropa lainnya, masalah salju cukup menggangu sejumlah jadwal keberangkatan. Namun yang namanya faktor alam, siapa sih yang bisa ngelawan.
Dalam kondisi normal, seperti tiadanya salju yang menyelimuti jalur rel ataupun jalan raya, jadwal transport pun berjalan normal. Kita bisa pastikan metro, bis, kereta api, ataupun trem akan datang tiap 10 atau 15 menit sesuai jadwalnya.
Lain di eropa, lain di tanah air. Tidak seperti eropa yang mempunyai empat musim, kita sebenarnya bisa dikatakan beruntung hanya mempunya dua musim. Layaknya matematika, persoalan yang hanya mempunyai dua variable tentu lebih mudah dipecahkan daripada yang empat variable kan??
Dengan hanya dua musim itu, kita seharusnya lebih mudah mengelola persoalan mendasar yang ada. Terutama persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Katakanlah seperti isu tiadanya transportasi karena tebalnya salju seperti yang dikemukakan diatas. Kita tidak akan dihadapkan pada persoalan bagaimana memecahkan gumpalan es di jalan, yang dalam hal ini memang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Tapi apa yang terjadi di tanah air? Sampai sekarang saya belum pernah punya pengalaman penerbangan domestik yang tepat waktu. Menunggu satu jam lebih sudah harus diperhitungkan dalam agenda keberangkatan.
Juga di jalur kereta api. Perjalanan kereta api masih juga sering terlambat, walaupun sekarang juga banyak yang on-time. Nggak salah kalo penumpang lebih tertarik berangkat dengan travel travel perjalanan ataupun ‘kijang gelap’ yang banyak beredar di stasiun.
Keterlambatan seperti sudah menjadi kata wajib dalam setiap jadwal keberangkatan yang tentunya akan menjadi terlambat juga dalam jadwal kedatangan. Kalo terlambat karena faktor alam tentu bisa dipahami. Tapi kalo karena human error, atau bahasa gaulnya di negeri kita kesalahan teknis, dan sudah menjadi makanan sehari-hari? Dengan kata lain, ‘Masak tiap jadwal human error trus sih!!’ Budaya tepat waktu masih jauh dari kita.
Seperti lagu Iwan Fals
Biasanya….. kereta terlambat
Dua jam mungkin biasa
Dua jam cerita lama
Yahhh begitulah memang. Kita sepertinya jauh dari bersyukur. Kemudahan yang diberikan Tuhan ini ternyata sering membuat kita tidak disiplin, malas dan terlena.
Selamat beraktifitas dan jangan sampai telat ngantor.
Amsterdam 11 Januari 2010
I Gede Henry Perdana Muda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H