Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami percepatan dalam pembangunan infrastruktur. Jenis infrastruktur yang dibangun beragam, antara lain jalan bebas hambatan, bendungan, transportasi (Light Rail Transit, Mass Rapid Transit, high-speed rail/jalan kereta cepat), satelit telekomunikasi, dan pembangkit energi listrik. Sistem penyediaan air minum dan air kotor juga direncanakan untuk dibangun pada kota metropolitan.
Keberadaan infrastruktur tersebut berperan dalam melayani kebutuhan dasar, menciptakan aksesibilitas antarwilayah, dan pemerataan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi. Selain ekspektasi atas manfaat, pembangunan infrastruktur juga mempercepat degradasi lingkungan dan menggusur komunitas lokal dari tempat tinggalnya.
Pembangunan selalu mendatangkan keuntungan dan kerugian. Kedua aspek tersebut dapat menjadi tidak berimbang dan justru menciptakan manfaat yang tinggi diinginkan. Proporsi anggaran publik yang terlibat dalam pembiayaan secara langsung maupun melalui utang jangka panjang menjadi beban dan mengesampingkan proyek sosial lain yang dianggap lebih prioritas.
Pesatnya Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Cawe-Cawe “Tangan yang Bersembunyi“
Pembangunan infrastruktur yang pesat dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat dilepaskan dari berbagai konteks yang mendukung. Salah satu fondasi yang mendukung adalah kelembagaan politik dan birokrasi yang mengerahkan tindakan untuk mengatasi hambatan atau kendala pembangunan. Salah satunya adalah peraturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan. Juga terdapat keleluasaan prosedur untuk menggunakan hutan dengan fungsi konservasi. Skema alternatif untuk mendanai proyek infrastruktur berkembang sedemikian rupa.
Kepemimpinan nasional sangat mendukung kecepatan pembangunan infrastruktur. Presiden dan kabinetnya menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas untuk mengangkat profil daya saing Indonesia secara internasional.
Ranking Indonesia dalam laporan kompetitif global (Global Competitiveness Report) yang membaik dari 40 (2018) dari 37 (2021). Kontribusi pembangunan infrastruktur bukan merupakan pendokrak ranking, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitasnya.
Dilihat dari skala waktu yang lebih panjang, sepuluh tahun terakhir menunjukkan apresiasi masyarakat terhadap capaian kemajuan jumlah panjang jalan dan jembatan yang dibangun sampai dengan pelosok wilayah terpencil. Dukungan publik sudah muncul sejak periode pertama kepemimpinan pemerintah pusat oleh Jokowi.
Selain, konteks kelembagaan politik dan birkorasi, pada skala yang lebih kecil kelompok perencana dan insiyur adalah mereka yang berperan mewujudkan pembangunan infrastruktur. Mereka ini yang bekerja dalam kondisi ketidakpastian akan kesuksesan pembangunan dan mengatasi persoalan di lapangan. Mereka juga yang berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk penentang proyek. Selain itu, mereka berhadapan secara langsung dengan kelompok penolak proyek dan berkonflik pada tingkat bawah. Dengan segala kerumitan tersebut, proyek pembangunan harus berjalan dan ada kalanya berhasil diatasi dengan “tangan bersembunyi” yang membantu para perencana dan insiyur.
“Tangan yang Bersembunyi (The Hiding Hand)“
“Tangan yang bersembunyi” merupakan fenomena umum di berbagai negara (baik negara berkembang maupun sedang berkembang). Fenomena ini diamati dan dikembangkan sebagai prinsip dalam pembangunan oleh Albert O Hirschman pada tahun 1960-an. Menurutnya, pembangunan terjadi karena ada dorongan awal untuk memulai dengan mengenyampingkan berbagai hambatan yang mungkin timbul.