Mohon tunggu...
G.B. Suprayoga
G.B. Suprayoga Mohon Tunggu... Ilmuwan - A PhD in spatial and transport planning; an engineer in highway construction; interested in enhancing sustainable road transport; cycling to work daily

Writing for learning and exploring

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cuti yang Memanusiakan dan Menghargai Perbedaan

4 Juli 2016   23:22 Diperbarui: 4 Juli 2016   23:59 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang rekan satu instansi mengeluh atas diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor B/2337/M.PANRB/06/2016 tertanggal 27 Juni 2016 tentang larangan cuti tahunan pasca Idul Fitri 1437. Saya dapat memaklumi apabila yang menyampaikan keluhan tersebut adalah rekan-rekan muslim. Umumnya, rekan-rekan tersebut akan memanfaatkan cuti bersama pada saat Idul Fitri yang ditambahkan dengan cuti tahunan agar dapat berada lebih lama di daerah untuk bertemu dengan anggota keluarga yang jarang dijumpai. Namun, rekan yang mengeluh ini beragama lain yang tidak ada hubungannya dengan perayaan tahunan Idul Fitri. Ia sengaja memanfaatkan cuti bersama dan cuti tahunan secara berbarengan karena alasan waktu libur anak-anak yang masih tersedia.

Jauh hari, rekan saya ini telah merencanakan tiket perjalanan. Dengan adanya Surat Edaran (SE) tersebut dia harus mengatur ulang jadwal kembali kepulangan ke kota tempatnya bekerja. Ia telah membeli tiket yang tidak hanya diperuntukan bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi pasangan dan anak-anaknya. Jumlah dana yang harus dihabiskan untuk biaya perjalanan sangat besar. Mencari tiket baru seukuran dengan jumlah keluarganya tidak mudah. Ia harus bersaingan dengan para pemudik pada arus balik nanti untuk mendapatkan tiket. Kerumitan yang sama tentu dihadapi oleh rekan PNS yang memang merayakan Idul Fitri di kampung halamannya.

Saya yakin banyak rekan PNS yang memiliki kasus yang sama dan mengeluh atas 'pemaksaan' tidak diperbolehkannya untuk mengambil cuti tahunan setelah cuti bersama yang dianggap sudah cukup lama. Selain mengurangi momen kebersamaan dengan keluarga, penerbitan SE tersebut pun tergolong sangat mendadak. Pengaturan ulang perjalanan dan dampaknya terhadap kemacetan di jalan raya maupun di simpul-simpul transportasi (bandara, pelabuhan, dan terminal) karena arus balik yang bersamaan adalah beberapa dari kekhawatiran tersebut. Seperti yang dialami oleh rekan saya, tiket menuju kota tempatnya bekerja nanti menjadi sulit diperoleh dan harganya pun mahal.

Kekhawatiran atas terbelangkainya layanan publik oleh Menteri PANRB memang masuk akal. Namun tidak seluruh instansi memiliki sifat pelayanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sebagian besar pelayanan publik ini berada di kabupaten dan kota, sehingga apabila dipukul rata jelas tidak relevan dengan inti persoalan yang dikemukakan oleh sang Menteri. Pada instansi yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, pimpinan instansi maupun daerah telah memiliki mekanisme pengaturan internal bagi yang mengambil cuti untuk memastikan bahwa pelayanan masyarakat tidak terdampak. Rumah sakit-rumah sakit daerah dan kantor pelayanan di daerah telah membiasakan diri untuk melaksanakan pengaturan waktu dan hari kerja para pegawai mereka. Pemberian cuti diatur sedemikian rupa,sehingga mereka yang tidak membutuhkan cuti tahunan setelah Hari Raya Idul Fitri bisa menggantikan rekannya yang sangat membutuhkannya.

Inti dari artikel ini adalah pelarangan cuti tahunan setelah cuti bersama adalah jenis pelanggaran hak PNS untuk memperoleh cuti. Pemberian cuti telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang diturunkan menjadi prosedur yang sudah baku oleh setiap instansi. Atasan yang memberikan cuti diwajibkan untuk akan memberikan catatan sebelum persetujuan diberikan. Cuti yang diberikan tersebut pun dapat ditangguhkan karena adanya tugas-tugas mendesak yang membutuhkan tenaga PNS yang bersangkutan. Komitmen yang mengikuti pemberian cuti tersebut disetujui oleh kedua belah pihak (baik atasan dan pegawai) sebelum cuti diberikan.

Penetapan cuti bersama sendiri adalah sebuah masalah yang luput dari perhatian. Setiap tahun diterbitkan keputusan bersama yang menetapkan hari libur nasional dan cuti bersama oleh Menteri Agama, Men PANRB, dan Menteri Ketenagakerjaan yang justru mengurangi hak cuti sebagian PNS. Setiap tahunnya, PNS diberikan cuti sebanyak 12 hari yang berkurang jumlahnya seiring dengan jumlah hari cuti bersama yang ditetapkan. Hal ini tentu tidak adil bagi sebagian PNS yang tidak memiliki kepentingan untuk cuti pada hari-hari yang tidak berkaitan dengan hari besar keagamaannya. Hal ini menjadi 'pemaksaan' lainnya dengan mengambil cuti tahunan yang jumlahnya dikurangi dengan hari yang telah digunakan untuk cuti bersama.

Oleh karena itu, pemberian cuti perlu memperhatikan prinsip kemanusiaan dan keragaman pegawai. Setiap pegawai membutuhkan cuti yang dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas hidupanya. Cuti dalam tujuan awalnya dapat digunakan untuk memulihkan kembali psikologi bekerja yang sebelumnya dilanda rasa bosan karena rutinitas. Diharapkan setelah diselesaikan masa cuti, para pegawai memiliki produktivitas yang tetap terjaga. Cuti juga sangat penting untuk mendekatkan keluarga yang sebelumnya disibukkan dengan urusan pekerjaan masing-masing. Anak-anak yang selama ini tidak sering berjumpa dengan orang tuanya karena tinggal pada lokasi yang berjauhan dapat menikmati kebersamaan mereka. Namun dengan mengikuti pola pikir SE tersebut, cuti dipandang sebagai pemberian oleh Negara kepada PNS bukan sebagai hak, sehingga bisa diambil dengan semena-mena.

Dengan memperhatikan keragaman para pegawai yang tersebar di seluruh Indonesia, penetapan cuti bersama sebaiknya ditinjau ulang. Pemerintah seyogyanya mengalokasikan cuti kepada mereka yang memang membutuhkan yang berdasarkan keragaman lokasi tinggal dan latar belakang agama. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negara Sipil sudah mengakomodasikan adanya kelonggaran untuk mendapatkan perpanjangan dua hari apabila lokasi tempat cutinya memiliki masalah kesulitan transportasi, namun perlu dipertegas lagi implementasinya. Saya bisa melihat kerumitan yang dihadapi rekan saya yang memaksakan untuk mengikuti cuti bersama agar dapat mengunjungi keluarganya di daerah yang jauh, namun harus mengikuti ketentuan dalam SE Men PANRB tersebut. 

Dari sudut pandang keragaman yang lain, saya membayangkan rekan yang beragama Hindu yang ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia dapat menikmati rangkaian Hari Raya Nyepi sesekali dalam masa pengabdiannya dengan lebih leluasa, tanpa mengurangi jatah cuti tahunan yang terdesak dengan penetapan cuti bersama. Atau mereka yang beragama Budha dapat merayakan Hari Raya Waisak yang kali ini dilakukan bersama keluarga di kampung atau kota halaman dalam jangka waktu yang sama dinikmati oleh rekan mereka yang beragama Islam. Mereka ini mungkin tidak membutuhkan cuti bersama dan kadang kala bersedia untuk menggantikan tugas sebagian rekan beragama Islam yang membutuhkan cuti seusai Idul Fitri. Apabila ini disadari oleh Pak Menteri PANRB, maka terbitnya SE tersebut tidaklah perlu dan dianggap mendesak, sehingga berujung pada pelarangan. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun