Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman suku, ras, budaya, dan agama. Dengan keberagaman ini, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa dan 652 bahasa daerah, yang menjadikannya salah satu negara paling beragam di dunia. Dengan keberagaman ini, ada kemungkinan terjadi konflik di dalam negara Indonesia, namun hal tersebut bisa diminimalisir dengan dasar negara, yaitu Pancasila. Pancasila sendiri bersumber dari nilai-nilai luhur yang digali dari budaya yang ada di seluruh Indonesia. Kutipan dari Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa ‘Pendidikan yang menghargai keberagaman budaya akan melahirkan generasi yang lebih toleran dan siap menghadapi tantangan global’. Dalam proses pembelajaran di kelas, tak jarang terdapat keberagaman seperti agama, suku, dan budaya, sehingga acap kali muncul kasus rasisme di dalam kelas. Sekolah dasar memiliki mata pelajaran gabungan, yakni mata pelajaran IPAS. IPAS sendiri adalah gabungan antara pengetahuan alam dan sosial yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pembelajaran IPAS sendiri harus berdasarkan kontekstual sehingga peserta didik dapat memahami pembelajaran dengan baik.
Namun, kenyataannya pembelajaran IPAS di sekolah sebagian besar tidak sesuai dengan situasi nyata dan cenderung bersifat teoritis saja. Menurut penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2019, 70% guru merasa kesulitan mengaitkan materi IPA dengan kehidupan nyata peserta didik, menyebabkan proses belajar menjadi lebih teoritis dan kurang kontekstual. Pembelajaran IPAS di sekolah tidak dirasakan bermanfaat bagi peserta didik karena tidak sesuai dengan keadaan nyata yang ditemuinya. Padahal, pembelajaran di sekolah dasar dirancang untuk membekali peserta didik agar mampu beradaptasi di masyarakat. Pembelajaran IPAS sendiri adalah satu pembelajaran di sekolah dasar yang memberikan kemampuan dasar bagi peserta didik untuk bisa terjun di lingan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu solusinya adalah menggunakan Pendekatan CRT pada pembelajaran IPAS di sekolah dasar dengan harapan menciptakan pembelajaran IPAS yang efektif dan meningkatkan toleransi antar peserta didik.
Pendekatan CRT adalah pendekatan pembelajaran yang memanfaatkan latar belakang budaya peserta didik sebagai bagian dari proses belajar. Pendekatan ini sangat sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang beragam karena mengutamakan budaya yang dimiliki peserta didik serta menumbuhkan nilai-nilai toleransi antar peserta didik. Studi yang dilakukan oleh Gay (2010) menunjukkan bahwa penerapan CRT mampu meningkatkan keterlibatan siswa hingga 35% lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Ini sesaui dengan masalah di atas yang mana dalam kondisi kelas yang beragam acap kali terjadi rasisme serta pembelajaran IPAS sebagaian besar masih teoritis saja sehingga tida sesuai dengan kehidupan sehari-hari peserta didik mengingat pengaruh budaya dan asal daerah terhadap dinamika pembelajaran di kelas. Sehingga, pendekatan CRT ini akan efektif dalam pembelajaran IPAS serta menumbuhkan nilai-nilai toleransi antar peserta didik.
Contoh nyata penerapan CRT di sekolah dasar meliputi tugas kelompok yang meminta peserta didik untuk mempelajari ekosistem di daerah asal mereka. Misalnya, peserta didik dari daerah pantai mengamati ekosistem laut, sedangkan peserta didik dari daerah pegunungan mempelajari ekosistem hutan. Melalui kegiatan ini, peserta didik tidak hanya memahami materi IPAS, tetapi juga menghargai budaya dan lingkungan teman-teman mereka yang berbeda. Dengan mengaitkan budaya pada pembelajaran IPAS membuat peserta didik memahami materi pembelajaran dengan lebih cepat karena peserta didik tentunya tidak asing dengan budayanya dan peserta didik yang budayanya berbeda bisa melihat jika budaya yang dimiliki peserta didik yang lain saling berkiatan dengan materi dan budayanya sehingga memunculkan sikap saling menghargai dan mengormati muncul yang nantinya menumbuhkan nilai-nilai toleransi itu sendiri. Nilai-nilai ini akan tumbuh jika peserta didik berkolaborasi dengan menggabungkan budayanya untuk menyelesaikan permasalahan yang berikan oleh guru dan tentunya peserta didik akan lebih paham dengan budayanya sendiri dan budaya lainya.
Dengan demikian, Pendekatan CRT ini membantu peserta didik lebih cepat memahami materi IPAS karena dikaitkan dengan budaya mereka, sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif. Dengan menggunakan budaya sebagai penghubung membuat peserta didik yang berbeda budaya memahami budaya temannya yang lain yang mana membuat peserta didik menghargai perbedaan budaya tersebut dan memahami betapa pentingnya menjaga kerukunan tersebut sehingga meningkatkan toleransi antar peserta didik. Pendekatan CRT ini juga mengembakan keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21 ini, seperti kerjasama, komunikasi, dan pemecahan masalah yang dibutuhkan di era globalisasi ini. Pendekatan CRT ini dapat dipadukan dengan pendekatan lain, seperti TaRL, untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Sehingga menciptakan pembelajaran yang lebih bermakana dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Penerapan CRT juga memerlukan dukungan melalui pelatihan guru secara berkelanjutan, pengembangan bahan ajar yang relevan, serta evaluasi berkala untuk mengukur efektivitasnya. Dengan kombinasi strategi ini, diharapkan pembelajaran IPAS di sekolah dasar menjadi lebih inklusif, relevan, dan mampu membentuk karakter peserta didik yang toleran serta siap menghadapi tantangan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H