Sebagian kalangan berpendapat slow down dalam pertumbuhan perekonomian disebabkan oleh berlarut-larutnya kasus Ahok. Pelaku usaha di dalam dan luar negeri menunggu putusan yang paling adil untuk umat Islam, agar situasi kembali damai dan ekonomi bisa bergerak kembali. Bila delta pertumbuhan (growth) Produk Domestik Bruto (PDB) riil antar kuartal kemarin anjlok -0,34 %, apakah itu gara-gara Ahok susah move on dari hasil akhir putaran kedua Pilkada DKI 2017 dan terus memprovokasi bangsa? Sehingga ekonomi menjadi slow down?Ternyata tidak sesederhana itu.
Perubahan Struktural Harus Pompa Growth
Menurut ekonom paling berpengaruh di Abad 20, John M. Keynes, rumus menghitung nilai growthdalam ekonomi suatu negara adalah dengan menyamakan output/produk nasional dengan pendapatan nasional. Output adalah total pengeluaran yang meliputi: konsumsi rumah tangga + investasi + belanja pemerintah + ekspor. Memproduksi output akan menghasilkan aliran pendapatan kepada penerima profit (pengusaha), pekerja, pemilik asset (petani dan UKM), dan luar negeri (melalui impor dari negara tsb). PDB berdasarkan ouput adalah penjumlahan tingkat nilai tambah dari seluruh aktivitas perekonomian. Sedangkan nilai tambah adalah penjumlahan seluruh pembayaran terhadap “factor produksi primer” (kerja dan kapital).
Biro Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2017 merilis berbagai data statistik tentang perekonomian, selain tentang growth.Tercatat di sana, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 0,14% sepanjang kuartal IV 2016 ke kuartal I 2017.
BPS juga nyatakan pengeluaran konsumsi pemerintah terjun bebas ke -45,54% sepanjang kuartal IV 2016 ke kuartal I 2017. Tentu ini akibat serangan kebijakan austerity pada fiskal belanja pemerintah kita.
Sementara, menurut BKPM, pertumbuhan investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) sebesar 0,9% sepanjang kuartal pertama tahun 2017 adalah yang paling lambat dalam lima tahun terakhir.
Terakhir adalah data ekspor Indonesia. Sangat terlihat, bahwa terjadi penurunan komposisi ekspor produk industri pengolahan dari 75,8 % ke ke 75,6 % dari keseluruhan ekspor. Penurunan juga terjadi di ekspor produk industri migas dari 10,19 % ke 9,49 % , yang lebih disebabkan oleh tren rendahnya harga minyak dunia dan turunnya kemampuan eksplorasi di lapangan.
Pemerintah terpaksa –karena berbagai tekanan- melakukan intervensi kepada kebijakan relaksasi ekspor industri tambang yang masih mentah. Apa boleh buat, negara perlu pemasukan dan masyarakat pekerja tidak boleh ditelantarkan (dari kolapsnya industri tambang asing), komposisi dalam eskpor keseluruhan naik dari 11,86 % ke 12,74 %. Terakhir adalah sektor pertanian, terjadi peningkatan dari 2,15 % ke 2,17 %,
Jadi mengapa terjadi stagnasi growth di sini selama enam bulan terakhir? Ini lebih karena perekonomian Indonesia masih ditopang oleh kembali menguatnya ekspor komoditi yang belum bernilai tambah (mentah). Dan perubahan (reformasi) struktural versi ekonom pemerintah ternyata hanya slogan. Kita masih seperti paradigma yang lama: ekspor Tanah Air, tanpa nilai tambah sama sekali.
Negara yg sukses mengalami growth berkelanjutan umumnya mengalami perubahan struktural yang mencakup pergeseran bagian (shares) output dan pekerja (labour) terhadap industri pengolahan. Perubahan struktural yang sebenar-benarnya adalah yang dapat memompa growth negara tersebut. Bila pejabatnya berbusa-busa pidato perubahan struktural di mana-mana, tapi ekonomi negara yang dipimpinnya stagnan dan bahkan slow down, industri pengolahan pun alami kemunduran, artinya perubahan struktural belum benar-benar terjadi.
GrowthPerkapita Indonesia Tertinggal