Sumpah Pemuda, Globalisasi dan tantangan kemandirian bangsa
Menyongsong hari Sumpah Pemuda ke-86
J. Subagia Made, pengamat sosial
Kilas sejarah
Pada era Kebangkitan Nasional dan perjuangan kemerdekaan, tidak sulit bagi para pemuda pejuang bangsa untuk mengidentifikasi atau membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Para pemuda menyaksikan sendiri betapa kasatnya polarisasi itu, baik secara ideologi, politik maupun sosial-ekonomi. Di Indonesia, pemuda bisa merasakan perbedaan nyata antara menjadi bangsa yang terjajah, manusia pariah dan setengah manusia dengan bangsa penjajah, tuan tanah, dan para meneer. Sedangkan di peta politik dunia, tergambar jelas pemisahan antara kelompok negara penjajah dan yang dijajah, kelompok negara fasis dan anti fasis, kelompok negara penganut sosialisme-komunisme ataupun kapitalisme-liberalisme.
Karena terus menerus menjadi obyek pemerasan, adu domba dan perbudakan oleh orang asing, para pemuda bertekad mengakhiri segala bentuk penjajahan, perlakuan yang tidak adil, semena-mena dan tidak manusiawi, diskriminatif dan melanggar HAM. Mereka bertekad membebaskan seluruh anak bangsa dari semua itu sehingga menjadi manusia yang merdeka, mandiri, bermartabat, serta memiliki harga diri dan jati diri. Mereka lalu berjuang untuk merebut kembali tanah leluhur dari penjajah dengan menggalang persatuan bangsa melalui ikrar satu tanah air, tanah air Indonesia;satu bangsa, bangsa Indonesia;satu bahasa, bahasa Indonesia yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda 1928. Dengan sumpah itu, para pemuda telah berhasil menghantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pelanduk di antara dua gajah yang bertarung
Berakhirnya perang Dunia II pada tahun 1945 tidak serta merta menciptakan kestabilan dan perdamaian di dunia. Malahan, dunia dihantui oleh ancaman baru berupa perang dingin, yaitupertentangan ideologi antara kapitalisme-liberalisme (blok Barat) dengan sosialisme-komunisme (blok Timur). Akibat konflik itu, berkecamuk perang sengit di beberapa belahan dunia, seperti di semenanjung Korea,Vietnam, dan di beberapa negara Amerika Latin. Konflik ini bahkan hampir saja menimbulkan perang nuklir terbuka ketika Uni Soviet hendak menempatkan peluru kendali nuklirnya di Kuba pada tahun 1962 sebagai balasan atas penempatan peluru kendali AS di wilayah Italia dan Turki. Sementara perang dingin terus meruncing, bangsa Indonesia justeru tengah berjuang keras untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai negarabayi yang baru lahir, Indonesia ibarat pelanduk yang terjepit di antara dua gajah yang berkelahi. Bangsa Indonesia terancam terseret ke dalam pusaran arus pertentangan sengit antara kedua blok kekuatan adidaya (super powers) itu. Haruskah Indonesia memihak dan memilih salah satu blok?
Dalam situasi yang sedemikian kritis, Bung Hatta tampil menyampaikan prinsip-prinsip politik luar negeri Indonesia yang kelak terus menjadi pilar politik luar negeri Indonesia hingga sekarang, yakni prinsip politik luar negeri “bebas-aktif”. Suatu prinsip yang pertama kali diutarakan dalam penyampaian keterangan Pemerintah di muka sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta pada tanggal 2 September 1948. Dalam pidatonya berjudul “Mendayung di antara dua karang”, beliau antara lain menyatakan: 1)
“…tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih pro Russia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri…”
Meskipun tidak menyebut kata “bebas aktif” secara eksplisit, tetapi dapat disimpulkan bahwa beliau ingin agar Indonesia tidak terikat dengan salah satu blok yang bersaing saat itu. “Bebas” diartikan sebagai bebas menentukan sikap, tidak didikte oleh pihak manapun. Sementara “aktif” diartikansebagai ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Nasib tragis negara pelopor Non Blok
Untuk menunjukkan keteguhan sikapnya itu, Indonesiabersama-sama dengan beberapanegara Asia baru merdeka, seperti, India, Birma, Srilanka dan Pakistan, kemudian memelopori penggalangan poros kekuatan dunia ketiga dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. KAA yang sangat terkenal denganDasa Sila Bandung-nya menandai lahirnya solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika sebagai modal perjuangan untuk mengakhiri penjajahan. Sebagai hasilnya, tercatat sekitar 31 daerah jajahan memperoleh kemerdekaannya sejak penyelenggaraan KAA. Patut pula dicatat bahwa prinsip bebas aktif telah melandasi Konperensi Asia Afrika dan menjadi penggerak pembentukkan Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Alignment Movement (NAM) di Beograd pada tahun 1961 serta berbagai forum terkait yang mengutamakan kemandirian sikap negara-negara berkembang.
GNB berperan besar dalam membantu meredakan ketegangan akibat perang dingin dan mencegah dunia dari kemungkinan malapetaka perang nuklir. GNB juga mengubah secara radikal tatanan PBB yang semula membagi dunia hanya dalam dua blok kekuatan,menjadi menjadi tiga kekuatan, yaitu blok Barat, blok Timur dan Non Blok.
Indonesia di bawah presiden Soekarno terus menerus mengobarkan semangat konfrontasi dengan Barat dan membentuk poros anti neo-kolonialisme-imperialisme (Nefo versus Oldefo) bersama China (Beijing) dan Korea Utara (Pyong Yang). Kebijakan ini secara natural mendekatkan posisi Indonesia ke blok Sos-kom. Dalam suasana konfrontasi panas di kawasan, keadaan ekonomi Indonesia memburuk dengan cepat hingga mengalami krisis. Kemudian terjadi peristiwa sangat tragis yaitu tragedi G-30 S PKI tahun 1965. Peristiwa ini membawa akibat ribuan bahkan konon ratusan ribu anggota atau simpatisan PKI dibunuh. Sampai sekarang tak ada yang mengetahui jumlah persis korban sebenarnya dan siapa pelaku pembunuhan itu.
Segera setelah peristiwa itu, pemerintahan Soekarnopun jatuh dan digantikan oleh pemerintahan Jenderal Soeharto. Tak ada lagi politik anti Barat, konfrontasi dengan Barat. Tak ada lagi slogan-slogan anti neo-kolonialisme-imperialismeSebaliknya,Indonesia mulai bersikap lunak dan bekerjasama atau bersabahat dengan Barat. Bahkan Indonesia dianggap sebagai good boy bagi Barat. Dengan membentuk ASEAN di kawasan, Indonesia berhasil mengajak negara-negara tetangga untuk bekerjasama menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Investasi asing mulai mengalir dengan lancar. Demikian pula halnya dengan impor barang dan budaya Barat secara perlahan tetapi pasti terus menguasai pasar Indonesia. Negara berubah, masyarakatpun mulai berubah. Idealisme berganti dengan pragmatisme dan materialisme. Sementara itu, Soeharto yang dianggap berhasil membangun ekonomi Indonesia berulang kali dipilih kembali menjadi presiden hingga berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. (Bandingkan dengan di masa reformasi, dimana maksimum jabatan presiden adalah 10 tahun).
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menjadi korban dari pergulatan ideologi dan geo-politik dua kekuatan besar yang dunia yang bertarung saat itu. Tragedi 1965 memperlihatkan betapa keras, kejam dan bengisnya pergulatan kekuasaan dan kekuatan (power struggle) yang terjadi antar bangsa.
Para pemuda sekarang yang mayoritas tidak mengalami episode kelam sejarah bangsa ini kiranya perlu mengetahui kejadian itu terutama dari perspektif hubungan dan politik internasional, antara lain, agar bisa memetik pelajaran berharga untuk kepentingan pengelolaan politik bangsa di masa depan. Pesan Bung Karno, Jasmerah: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, kiranya patut dipahami secara mendalam karena melalui sejarahlah generasi muda dapat mengenali jati diri bangsanya, keberadaan bangsa saat ini dan arah perjalanan di masa depan. Jika generasi muda tidak lagi mau tahu sejarah bangsanya, maka tinggal menunggu waktu, bangsa itu akan segera lenyap disapu tsunami globalisasi.Jangan sampai bangsa ini kembali menjadi korban ataau tumbal akibat pertarungan bangsa-bangsa lain ataupun kekuatan global.
Tantangan di era globalisasi
Mencairnya perang dingin yang ditandai robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan runtuhnya Uni Soviet (komunisme) tahun 1991 mempercepat proses globalisasi dan reformasi. Konstelasi dunia tidak lagi bersifat bipolar, yaitu konfrontasi antara blok Kapitalisme melawaan Komunisme, melainkan bersifat multipolar yang ditandai dengan munculnya kutub-kutub kekuatan baru, seperti Uni Eropa, China, Russia dan BRICs). Namun secara militer, sebagian pakar memandang hanya ada satu super-power saat ini , yaitu AS, dan oleh karenanya dunia saat ini bersifat unipolar. Hanya AS yang mampu menggerakkan kekuatan militernya secara serentak di semua belahan bumi pada saat yang bersamaan. AS juga paling mampu mempengaruhi kejadian-kejadian penting di seluruh belahan bumi.
Di Indonesia sendiri, gelombang reformasi mulai terjadi pada tahun 1998 yang diawali dengan demonstrasi mahasiswa (pemuda) menumbangkan rejim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Selama periode tersebut,bukan hanya energi dan kreativitas para pemuda yang terpasung, tetapi perekonomian juga mengalami stagnasi. Akibatnya, ketika muncul krisis keuangan dunia, fondasi ekonomi Indonesiapun akhirnya terpuruk dan ambruk.Nilai tukar dollar melonjak dari Rp 2000 per 1USD menjadi Rp. 16.000 hanya dalam tempo 6 bulan. Inflasi meroket dan Indonesiapun jatuh bangkrut. Hampir saja Indonesia menjadi suatu negara gagal (failed state) dan mengalami disintegrasi.
Reformasi mengubah secara radikal struktur politik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara politik, Indonesia menjalankan proses demokratisasi (revisi Konstitusi, Otonomi Daerah, penghilangan peran militer dalam politik, dll). Di bidang ekonomi, antara lain, dilakukan proses deregulasi dan liberalisasi, penghapusan subsidi secara bertahap, penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan good governance. Di bidang sosial budaya, kontrol terhadap media dihapuskan dan diganti dengan penerapan kode etik pers (self censorhip). Sementara itu, dalam hubungan luar negeri, terjadi interdependensi yang semakin erat. Apalagi dengan rencana dimulainya pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada akhir tahun 2015. Maka era persaingan bebas semakin dekat di depan mata.
Globalisasi dapat diibaratkan sebagai sebuah gelombang tsunami, gelombang dahsyat yang mampu menyapu dan meruntuhkan segala sesuatu yang menghalanginya. Tak satupun negara di dunia ini sekarang yang imune terhadap pengaruh global. Tidak peduli, sekuat apapun isolasi, filter dan sistempolitik, ekonomi, sosial budaya dan ideologi yang dijalankan suatu negara,cepat atau lambat gelombang globalisasi itu sedikit demi sedikit akan sampai juga. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, arus informasi mengalir dengan deras dan semakin lama semakin canggih, murah dan cepat.
Indonesia yang secara geografis berbentuk kepulauan, secara demografi berupa multi-kultural, multi etnis, multi-religi dan multi-bahasa, tak pelak harus menghadapi banjir arus barang dan budaya asing yang dibawa oleh globalisasi. Dalam situasi seperti ini, negara-negara pun berlomba meningkatkan daya saing masing-masing agar sanggup bertahan menghadapi gelombang pasar bebas ini.
Bagaimana seharusnya pemuda menyikapi globalisasi untuk mewujudkan cita-cita Trisakti Bung Karno?
Abad 21 ini sangat berbeda dibanding pada masa awal kemerdekaan RI.Tatanan internasional semakin kompleks dan senantiasa ditandai oleh perubahan dan ketidakpastian. Suatu dunia yang ditandai oleh berbagai pusat kekuatan, semakin leburnya batas-batas masalah dalam negeri dan luar negeri, serta keterkaitan yang erat antara masalah politik-keamanan di satu pihak dan masalah sosial-ekonomi di lain pihak.
Ibarat mengarungi sebuah samudera yang sedang bergejolak karena badai (navigating a turbulent ocean), Indonesia harus mampu bertahan.
Secara politik, Indonesia harus mampu tetap mempertahankan kemandiriannya (kedaulatan politik), termasuk dalam menentukan sikap terhadap berbagai persoalan internasional yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, tanpa dipaksa ataupun dipengaruhi negara atau kepentingan lain. Kemandirian sikap itu perlu kita laksanakan secara terus menerus - sehingga Indonesia mampu menjadi suatu negara yang menjadi bagian dari solusi atas masalah-masalah global – bridge builder;suatu negara yang dipercaya oleh masyarakat internasional; dan suatu negara yang secara aktif menyuarakan pandangannya dalam menghadapi berbagai masalah internasional. Pemuda tidak boleh pasrah terhadap keadaan, melainkan mendorong pembaharuan ke arah perbaikan. Indonesia hendaknya mencegah kemungkinan kembalinya pembentukan blok-blok politik dan berupaya mengedepankan prinsip keamanan bersama di kawasan. Dengan demikian, Indonesia dapat mengamankan agenda pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara ekonomi, disadari bahwa inter-dependensi secara regional dan internasional merupakan suatu realitas yang tak mungkin ditolak. Pasar bebas dan multilateralisme adalah suatu kenyataan yang mengandung peluang sekaligus tantangan. Yang penting sekarang adalah bagaimana pemuda meningkatkan kapasitas dan kemampuan SDM bangsa agar mampu menguasai teknologi tinggi. Untuk itu,peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi perhatian utama pemuda. Mengingat peran perusahaan besar dalam menguasai ekonomi nasional masih tinggi, maka tantangan pemuda adalah bagaimana meningkatkan kualitas daya saing UKM agar tidak kalah dari UKM negara-negara tetangga.
Secara sosial budaya, tak dapat dipungkiri betapa banyak pemuda yang lebih menggemari produk budaya asing daripada produk budaya sendiri. Padahal, produk budaya bangsa sendiri banyak dikagumi oleh bangsa lain, namun kurang dihargai oleh bangsa sendiri. Banyak orang asing yang belajar gamelan, angklung, seni wayang, seni tari, pencak silat, batik, dll. Seharusnya halini membangkitkan kembali kebanggaan pemuda akan produk budaya bangsa sendiri.
Penulis yakin, masih banyak hal yang dapat dibanggakan sebagai bangsa Indonesia. Sudah saatnya bagi para pemuda untuk berani memulai meninggalkan hal-hal yang membuat malu, misalnya perilaku masa bodoh dalam hal lingkungan dan kebersihan (membuang sampah di sungai), menebang dan membakar hutan secara semena-mena, memperkaya diri dengan cara melanggar hukum (korupsi), berkelahi di jalan-jalan (tawuran pelajar), bersikap intoleran terhadap keyakinan lain (radikalisme), dll.Mari kita bangun, Indonesia yang inklusif, demokratis dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Salam Pemuda.
Jakarta, 27 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H