Namaku Jack Taylor. Masa kecilku ku habiskan di pesisir Newcastle. Dari kecil, aku adalah anak yang pemberani. Jujur saja aku cukup nakal. Aku lumayan sering mencuri mangga di kebun Miss Dorothy atau mencoret-coret tembok Paman John. Dan hal itu sering membuatku terlibat dalam berbagai kesulitan. Tapi, setidaknya masa kecilku jauh lebih menarik dibandingkan anak-anak sebayaku.
Saat umurku beranjak 20, aku memutuskan untuk meninggalkan rumahku dan mencoba peruntungan di New York. Hidup di New York bukanlah hal yang mudah. Untuk perantau seperti ku, New York bisa menjadi kota yang sangat tidak ramah. Tapi, masa kecilku pun seperti itu, jadi hal ini tidaklah menjadi masalah yang besar.
Hidup di New York memang sulit, namun mencari pekerjaan di New York ada di tingkatan yang berbeda. Sangat sulit untuk mendapat pekerjaan yang bagus ketika kau tidak memiliki kualifikasi yang baik. Sedangkan aku? Modalku hanya badan yang lumayan besar dan otak yang sedikit lebih encer dibanding yang lain. Aku juga mudah dekat dengan orang lain dan dengan mudah pula mendapatkan informasi. Ternyata kemampuanku itu mempertemukanku dengan seorang agen intelejen khusus Amerika. Dia tertarik dengan bakatku. Kemudian, aku di rekrutnya.
Selama masa itu pula aku bertemu dengan Mary. Ia adalah seorang desainer di salah satu majalah yang termahsyur di kota ini. Aku tidak sengaja mengenalnya hanya karena salah mengiranya sebagai target pengintaianku. Menurutku pribadi, Mary adalah salah satu wanita tercantik yang pernah kudekati. Dia sangat enerjik, keras kepala, dan tidak mau kalah. Dia hanya menyerah bila kuiming-imingi dengan cerita tentang konspirasi-konspirasi yang beredar di sekitar lingkungan ini. Dia sangat menyukai misteri. Dia sangat antusias mendengarkan seluruh ceritaku. Mungkin itulah yang membuatku jatuh hati padanya dan memutuskan untuk melamarnya. Dan untungnya, dia menerima lamaranku hanya dengan cerita konspirasi tentang 9/11. Dia sah menjadi Mary Taylor.
Tidak lama setelah kami menikah kami dikaruniai seorang malaikat kecil, dia kami namakan Antoine. Sedikit berbau perancis memang, nama itu dipilih Mary. Mary sedang ngidam ingin ke Paris pada saat itu, tapi karena kesibukanku aku tak bisa mengabulkan permintaanya. Jadi kuberikan kesempatan baginya untuk memberikan nama pada anak pertama kami.
Kehidupan kami sangat menyenangkan. Walaupun aku sering keluar kota karena pekerjaan, waktu untuk keluarga selalu menjadi prioritasku. Kami bermain ke pantai, ke taman, dan aku juga sering mengajak mereka berdua ke padang rumput dekat rumah yang ditumbuhi alang-alang untuk bermain bisbol. Kalau memang benar ada surga, aku telah lama memilikinya.
Tapi, aku kini berada di sebuah hotel di Simferopol, 8000 kilometer jauhnya dari rumah. Dan inilah awal mimpi burukku.
***
“APA YANG HARUS KULAKUKAN?”
Tangan Jack Taylor gemetar, kepalanya pusing berat sehabis menegak sebotol penuh wiski. Matanya menerawang jauh. Di sudut kamarnya, televisi terus menyala. Stasiun-stasiun berita sedang heboh dengan berita tentang serangan tentara Israel di Gaza. Suara televisi itu hanya terdengar sayup-sayup di telinga jack, yang sedang setengah sadar.
“Yang akan kuhabisi nanti itu manusia semua.”