Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi (Itu) Sampah

8 November 2015   17:33 Diperbarui: 8 November 2015   18:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman mahasiswa dahulu adalah hal yang absurd ketika kita tidak pernah “darmaji”, dahar lima ngakuna hiji, apalagi untuk anak-anak rantau yang ongkos transportasi pun dirapel dengan jatah apel. Tanpa disadari, kita telah berlaku koruptif, walaupun kecil-kecilan. Harus diakui, kata “walaupun” disini sering kali hadir sebagai sebagai sebuah laku permisif bahwa bila nominalnya sedikit maka serta merta tidak lagi merugikan orang lain. Buat masyarakat Indonesia, premis ini sepertinya telah mengakar budaya.

Bicara soal akar berarti bicara juga tentang bibit. Bibit-bibit korupsi, menakutkannya, sudah mulai dipupuk sejak dini. Yang paling kentara dan sering kali dianggap sepele adalah, ambil contoh, perilaku buang sampah sembarangan. Ketika anak kita atau saudara kita yang masih kecil tidak sengaja – atau sengaja – dengan enteng melempar bungkus snack ke sungai atau ke jalan seringkali kita biarkan atau mencari pembenaran.

Bayangkan dari 1.600 Ton timbulan sampah di kota Bandung, sampah yang tercecer mencapai 375 ton (RPJMD 2014-2018). Berarti dari Rp 95 Miliar yang dianggarkan untuk mengelola sampah kota Bandung (www.prfmnews.com, 06/01/2015) ada Rp 17 Miliar, yang mungkin bila menggunakan perhitungan kasar sekitar 15-20%, yang digunakan untuk membereskan sampah tersebut yang sebenarnya sama sekali tidak perlu bilamana kita eling bahwa sampah haruslah disimpan ditempatnya dan bukan dimana saja. Bukankah dengan begitu kita telah, dengan tanpa sengaja, korupsi?

Ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwi Gajah meledak, misalnya. Yang terkorupsi tidak lagi hanya sekedar hal ihwal yang seperti remah roti, kecil-kecil dan ringan; tapi hak hidup orang banyak. Mau wong cilik, wong sugih, bahkan wong edan semua kena imbasnya, blas. Betapa laku korupsi bisa terjadi dengan atau tanpa pelakunya sadar dan jelas-jelas bikin rugi.

Kemudian yang jadi pertanyaan adalah seberapa berani kita merebut kembali hak kita ini? Teringat Lebanon di beberapa minggu terakhir yang sedang memanas dan bau. Masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang: mahasiswa, tukang roti, direktur perusahaan, pengamen jalanan berbaur dan turun aksi diantara tumpukan-tumpukan plastik sampah yang tersebar di sudut-sudut jalan dan rentetan tembakan senjata sembari menuntut apa yang jadi hak mereka: hidup bersih. Bersih yang menyeluruh, bukan hanya halaman rumah yang rapih dan kinclong atau jalanan yang apik dan tidak bau pesing, tapi juga bersih akal dan perilaku dalam memerintah dan mengelola hajat hidup bersama. Tuntutan mereka: bersihkan kota kami dari sampah dan otak kalian yang koruptif! Apakah itu muluk-muluk?

Ada baiknya kita mulai berani berdemonstrasi, dalam artian yang kita tunjukan bukan hanya rasa tapi juga karsa dan karya. Kita tuntut hak untuk hidup bersih dan nyaman sekurang-kurangnya pada diri kita sendiri, agar kita tidak lagi malas dan korupsi waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk memulai perubahan. Walaupun hanya sekadar tindakan-tindakan kecil seperti memungut sampah, menegur orang yang buang sampah sembarangan, kita telah berani merebut apa yang jadi hak kita sebagai personal ataupun publik dan jelas-jelas teladan.

Seperti yang saya lihat beberapa hari yang lalu di traffic light simpang empat Jalan Brigjen Katamso di kota Bandung. Tiga pengamen kecil dengan pakaian belel, celana robek-robek, bahkan ada yang bertindik, beradu mulut dengan seorang pengendara mobil yang, terlihat dari kejauhan, tampil necis. Masalahnya simpel: si pengendara mobil necis itu membuang puntung rokoknya sembarangan ke jalan, dan tiga anak itu marah.

Marah bukan pada beda nasib yang kentara antara dua kontras gambaran masyarakat urban Bandung yang saling bertemu di jalan waktu itu, yang memang iya, tapi lebih ke pernyataan menyangkut eksistensi: jalan ini adalah rumah buat kami dan jangan sekali-kali asal mengotori. Mereka bertiga nyatanya lebih berani merebut hak tersebut dibanding sebagian besar dari kita yang katanya berpendidikan, berbudaya, beradab ini. Katanya.

Kembali memandang ke Lebanon, kita bisa saja jadi mereka yang turun tangan beraksi tanpa takut diantara tumpukan sampah dan deru senapan untuk merebut kembali hak-hak dasar hidupnya yang dinikmati secara semena-mena oleh segelintir oknum dengan perilaku yang korup, atau memilih jadi mereka yang berdiam diri di ruang ber-AC sambil dengan asik berkomentar tentang Lebanon yang panas dan kian bau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun