Karena hujan adalah kala hati menjadi sedikit melankoli.
Tahun 2017 ini bisa dibilang tahun basah. Hari hujan yang terekam di tahun ini jauh lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sepertinya sih begitu, karena saya malas mencari sumber-sumber lainnya yang menguatkan pernyataan saya tadi, jadi anggaplah begitu.
Hujan memang membingungkan. Kadang hujan datang membawa ketenangan, kadang membawa banjir tandang. Tapi memang begitu, karena hujan, begitu pula banjir, itu dikirim Tuhan, mengutip Bang Sandi. Yang namanya datang dari Tuhan itu nggak pernah deterministik. Bisa jadi berkah, bisa jadi ujian.Â
Misal pas lagi kere-kerenya diajak nonton sama gebetan dan karena gengsi diiyakan, hujan bisa jadi berkah. Tapi bisa juga jadi ujian, manakala ternyata sembari bersyukur diberi hujan, jemuran yang sudah kering sedari tadi lupa diangkat karena keasyikan bersyukur, ini jelas-jelas ujian.
Kalau sudah begitu memang sudah seharusnya kita bersiap-siap menghadapi hujan. Mengutip peribahasa lama "sedia payung sebelum hujan",generasi milenial kekinian menerjemahkan ini menjadi "sedia payung teduh sebelum hujan"dan tak lupa segelas kopi dan sebungkus udud. Jelas karena generasi milenial ala saya nggak akan pergi kemana-mana kalau hujan, karena sudah pewe (posisi uenak).Â
Belum lagi hujan sering mengajak kenangan datang tanpa diundang, ini nih yang paling asem. Kadang-kadang kalau sudah hujan, dan Kucari Kamu terlantun, kopi sering kali jadi sedikit lebih asin, dan pipi jadi basah, karena kecipratan hujan. Boys don't cry man! didepan orang lain.
Tahun 2017 memang sering hujan. Apakah karena Climate Change? Kalau kata Donald Trump mah bukan. Menurut Empu Donald Trump, itu gara-gara Konspirasi koko dan enci yang sirik-siriknya dengan doi, atau mungkin juga karena Mexico yang nggak mau bayar biaya pembangunan "The Wall" atau karena Muslim, karena yah Muslim.Â
Si Empu memang luar biasa, karena walaupun tanda-tandanya sudah ada, laut sudah berubah, hutan sudah berubah, dan gunung sudah berubah, Empu bisa ngelihat apa yang nggak kita lihat. Jadi Empu Donald buru-buru keluar dari Paris Agreement, yang mana jadi pertama bahkan satu-satunya. Keren emang si Empu. Atau karena Empu Donald juga pecinta Payung Teduh, dan mengamini bahwa Gunung dan Laut nggak punya rasa?
Hujan juga sering mengingatkan kita pada umur. Karena umur bisa jadi alasan untuk semua keadaan yang nggak menguntungkan. Flu yang nggak kunjung berhenti? karena umur, malas-malasan di sofa seharian penuh? karena umur, nggak jadi main futsal gara-gara badan encok? karena umur. Karena sering mengingat umur, jadi tertohok sendiri kan? Udah umur segini masih gini-gini aja? masih sendiri aja? Nah, pada saat-saat seperti ini lah lagu Akad nyelonong. Duh, ini siapa yang nambahin garam ke kopi. Â
Tapi, harus tetap bersyukur karena di kala hujan seperti ini kita masih punya Payung Teduh untuk menemani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H