Mesir, demokrasi, dan islam! Tiga kata ini menjadi tren hari-hari ini karena jatuhnya ratusan korban baik pihak sipil maupun militer. Tentu saja korban sipil jauh lebih banyak. Kalau dicermati, ungkapan keprihatinan di lini masa, baik itu facebook maupun twitter, berjibun dengan berbagai sudut pandang. sudut pandang dominan dari masyarakat Indonesia adalah "Islam sedang dizalimi! Take action now!"
Saya tidak tahu, apakah pandangan dominan ini hasil kerja dari tentara dunia maya PKS atau bukan. Namun garis merahnya sangat jelas: konflik antara pemerintah Mesir (bc: Regime Militer) dan kelompok politik Ikhwanul Muslim diolah dan dimasak sebagai konflik antara Islam dan Barat (non-Islam). Wacana dominan ini disodorkan dengan menafikkan bahwa mereka yang berkonflik adalah sama-sama Muslim. Mereka mengabaikan bahwa sesama Muslim saling berbunuhan. Kacamata kuda mereka hanya bisa melihat bahwa diri merekalah yang Muslim. Kelompok lain, apakah itu Suni, Syiah, Ahamadiyah, atau yang lain di luar kelompok mereka bukan Muslim.
Propaganda "pe-MEREKA-an" ini adalah propaganda usang. Politik yang mengedepankan kepentingan kelompok selalu menggunakan propaganda ini. Jadi mereka yang meng-klaim kalau Muslim Mesir dibantai, tujuannya adalah satu: konsolidasi kekuatan politik untuk melawan "MEREKA" (bc. kelompok lain, baik Muslim maupun non-Muslim). Dalam konteks Mesir, Muslim di-identik-kan dengan Ikhwanul Muslimin, kelompok politik Islam yang bercita cita mendominasi politik di berbagai negara melalui cara-cara pragmatik. Tentu saja yang digembor-gemborkan adalah cita-cita mulia mendirikan negara yang berazaskan Islam dan khilafah. Mengenai strateginya, tergantung konteks di masing-masing negara (Di Indonesia, strategi pengumpulan dana perjuangan Ikhwan dikenal dengan strategi SAPI).
Di Mesir, Ikwanul Muslim berhasil berkuasa melalui Pemilu yang demokratis. Namun belang kelompok politik oportunis ini mulai tampak saat Morsi mencoba mengubah konstitusi dan mengeluarkan dekrit-dekrit yang mengancam demokrasi di Mesir. Dekrit-dekrit tersebut diarahkan untuk melemahkan oposisi dan menumpuk kekuasaan di tangan presiden. Pihak oposisi didukung oleh tentara nasionalis menggagalkan rencana cepat Mursi mengubah Mesir dan Timur Tengah menjadi kekuatan Ikhwan yang dominan.
Kembali ke konteks Muslim Indonesia, kampanye cyber army PKS dengan slogan: "Muslim di Mesir di Bantai!" sangatlah mengaburkan kenyataan politik di sana. Disembunyikan kenyataan kelompok-kelompok yang bertikai adalah sesama Muslim (Gereja Koptik, kelompok minoritas juga terlibat konflik, dan menjadi salah satu kelompok yang jadi sasaran amarah pendukung Morsi). Disembunyikan pula kenyataan bahwa bahwa konflik ini adalah konflik antara Ikhwanul Muslimin melawan kelompok Militer/Pemrintah. Cyber army PKS dalam hal ini mengkampanyekan kalau Ikhwanul Muslimin merepresentasikan Islam.
Mendukung satu kelompok dan mengklaim menjadi korban serta melabeli-nya dengan kata ISLAM merupakan politisasai agama dan tidak akan membawa kemaslahatan. Yang harus dikampanyekan seharusnya adalah: "STOP PEMBANTAIAN SESAMA MANUSIA!" Siapapun pelakunya, siapapun korbannya, di mana pun tempatnya, tidak ada tempat untuk kekerasan.
Mereka yang mengklaim menjadi korban dan melabeli-nya "Islam" akan dengan mudah pula menjadi pelaku tindak kekerasan atas nama Tuhan dan Agama!
Stop pe-MEREKA-an! Galang persatuan! Dirgahayu Indonesia! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H