Mohon tunggu...
Gedang Kepok
Gedang Kepok Mohon Tunggu... -

Gedang Kepok adalah nama pena untuk penulis Kompasiana ini. Karena satu dan lain hal, identitas asli Gedang Kepok belum bisa diungkapkan di profil penulis. Gedang Kepok tertarik dengan banyak hal, mulai dari politik, budaya, dan humaniora. Semua tulisan akan diabdikan untuk kebebasan berpikir, kemanusiaan, dan demokrasi! Salam Kompasiana! God bless Indonesia!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Socrates Dianggap Menghina Dewa-dewa

9 Mei 2017   22:34 Diperbarui: 9 Mei 2017   23:06 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Athena berduka. Socrates yang suka menelusuri jalan Athena dan bertanya pada orang-orang muda tentang "kebenaran" yang sesungguhnya akhirnya dianggap bersalah oleh pengadilan yang dimanipulasi dan penuh dengan intrik dan tekanan. Bukankah rakyat jelata mudah digerakkan, diperalat untuk kepentingan politik sesaat? Bukankah pendeta-pendeta dari kuil Apollo memprovokasi rakyat dengan menuduh Socrates menghina dewa-dewa? Bukankah politisi busuk yang tidak kompeten juga menuduhnya merusak kaum muda?

Socrates dengan pertanyaan-pertanyaannya ibarat seorang bidan yang membantu kelahiran "sang kebenaran." Sayangnya, kebenaran ini seringkali pahit rasanya. Bukankah tidak enak mendapat sebutan politisi "maling" karena hakekatnya mengambil uang rakyat (baca: korupsi) adalah maling juga? Bukankah tidak enak disebut munafik karena menggunakan kitab suci untuk kepentingan kotor politik? Bukankah tidak enak ambisi politik terganjal karena keberanian Socrates yang tanpa sungkan bicara apa adanya dan mnyinggung perasaan mereka yang mendengarnya?

Pendeta kuil Apollo bersama politisi Athena bekerjasama dan berhasil membakar kemarahan rakyat. Socrates, filsuf nyinyir dan tak pernah berhenti bertanya itu sudah menjadi pengganggu ambisi politisi Athena. Mereka gelisah karena hari demi hari kebobrokan dan kebodohan mereka terungkap karena pertanyaan-pertanyaan Socrates. Dan persis seperti Imam Besar Yahudi, Pendeta kuil Apollo dan politisi Athena sepakat: "Lebih baik mati satu orang demi kebaikan Athena dan terhindar dari api neraka dan amukan para dewa." Karena itulah, saat juri mengambil suara dengan lempeng batu bertulis, Socrates sudah tahu, harapannya tipis karena dendam dan dengki telah membara dan pikiran sehat sudah tidak ada.

Socarates tersenyum saat hitungan terakhir lempengan batu itu memutuskan dirinya bersalah. Memang begitu hukum Athena dan ia menerima dengan terbuka. Bukankah dia mengajarkan murid-muridnya untuk taat hukum dan aturan di Athena? Bukankah dia mengajarkan kebenaran tidak tergantung satu orang saja? Bukankah dia mengajarkan kematiannya  dan pengeorbanannya akan menumbuhkan benih-benih kebenaran pada setiap dada pemuda Athena?

Dan di malam terakhirnya, dia menolak ajakan murid-muridnya untuk lari dari Athena. Dengan tak ragu diteguknya racun yang telah disiapkan untuk dirinya. Dan sejarah membuktikan, nama Socrates abadi dan musuh-musuhnya terlupakan karena pahlawan, meskipun harus berkorban, akan menyebarkan benih-benih kebenaran.

Dan hari ini Gedang Kepok bersedih namun tetap penuh harapan. Ahok telah berkorban dan telah menjadi pahlawan yang menginspirasi dan menanamkan benih-benik keberanian dan kebenaran--yang akan abadi melebihi mereka yang membencinya, termasuk sengkuni dan pendeta Drona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun