Jokowi jadi serba salah. Luhut Binsar Pandjaitan adalah tangan kanannya. Dengan pengalaman dan latar belakangnya yang mumpuni, Luhut mempunyai karisma untuk mempersatukan kabinet. Namun apa daya, ada jejak masa lalu yang kurang elok. Panama paper sudah terbuka dan tak bisa dipungkiri lagi, namanya memang di sana.Â
Belum lagi kalau ingat kasus "Papa Minta Saham," dimana SetNov dan Gembong Mafia Minyak Reza Chalid berbicara tentang Luhut dan mengatakan kalau dia sama saja dengan mereka. Meskipun akhirnya kasusnya pudar dan Gembong Mafia Minyak masih dibiarkan berkeliaran, Luhut tak akan lepas dari percikan noda hitam ini. Dan Jokowi harus berpikir keras, siapa penggantinya, yang juga mumpuni dan bisa mempersatukan dan menggerakkan kabinet.
Memang di awal kabinet Luhut dimusuhi bahkan oleh PDIP karena dianggap sebagai penumpang gelap rezim Jokowi. Pada waktu itu, Jokowi punya banyak alasan karena ia percaya Luhut punya karisma sekaligus network untuk manaklukkan DPR dan menyatukan kabinet kerja. Berkali-kali diserang dan ditekan, Luhut berhasil selamat karena Jokowi mengenalnya sebagai seorang yang nasionalis, punya visi, dan pekerja keras. Namun sekarang, Jokowi harus melihat kedekatannya dengah Luhut secara lebih kritis. Mempertahankan Luhut di kabinet akan membebani. Kalau benar perushaan-perusaahaan Luhut bertransaksi dengan perusaahan cangkang sperti disebut dalam Panama paper, itu sudah berarti pengkhianatan.Â
Bukankah pejabat nasionalis harus taat bayar pajak, sen demi sen dari semua yang legal dikenai pajak? Bukankah pemerintahan Jokowi mau menjadi obor bagi revolusi mental, membawa pemerintahan dengan transparansi dan akuntabilitas? Bukankah pemilih Jokowi berharap pemerintahan baru bisa melenyapkan berbagai mafia di pemerintahan? Bukankan pemerintahan Jokowi mau berdiri paling depan memberantas korupsi di negeri ini?
Dalam tekanan publik Jokowi keras kepala. Bahkan Megawati pun tak dipedulikannya dan BG akhirnya gagal jadi Kapolri. Sebuah keberanian dan prestasi yang luar biasa dari Jokowi yang di PDIP masih dianggap ingusan dan sekedar "petugas partai."
Namun kali ini ujian keberanian Jokowi lebih berat lagi. Bukan hanya tekanan publik tetapi juga melibatkan emosi dan kedekatan personalnya dengan Luhut. Bukankah susah sekali memecat sahabat sendiri yang dipercaya dan sangat kompeten di bidangnya?
Hanya ada satu solusi. Sudah saatnya Luhut Binsar Pandjaitan mundur dengan gagah berani. Bukan demi siapa-siapa, tetapi demi Jokowi dan negeri ini.
Salam Kompasiana! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H