Mohon tunggu...
Kaka Geb
Kaka Geb Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pencinta Kopi, Puisi dan Senja_

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hujan Dua Puluh Tujuh Juli

28 Juli 2017   18:32 Diperbarui: 28 Juli 2017   18:37 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu lagi lembaran senja pergi.
Tinggalkan air mata langit.
Runtuh satu-satu.
Berderai menjemput selimut malam.
Menghunjam wajah bumi arema.
Menggores kenangan kuyup menjelang akhir juli.

Di serambi depan rumah, kakak melantun lagu penuh hikmat.
Bunyi gitar dan hujan merintik jadi satu menyatu dalam sebuah lagu yang bukan lagi sekedar lagu; tapi mohon yang utuh.

Selayang pandang menghitung rintik-rintik hujan yang tak mau usai jua.
Sementara senja sudah tak kelihatan lagi. Di seberang jalan, ada gadis kecil berdiri menggigil, kepalanya sengaja disandarkan ke dinding. Dengan wajah menghadap ke langit yang kelabu. Resah terlihat jelas di sekujur wajahnya.

Andai hujan tiada datang menjelang senja, mungkin lembayung tampak mesrah di ujung barat.
Andai hujan tiada datang, mungkin kakak tidak melantun semoga dalam banyak hal.
Andai hujan tiada datang, mungkin gadis kecil itu tiada menengadah dalam resah.

Andai mereka tahu bahwa hujan di musim panas adalah berkat; maka semoga dan resah tiada di sini_

Malang, 27 Juli 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun