Mohon tunggu...
Gading Aurizki
Gading Aurizki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student of FKp UA 2010 | KAMMI | @nersgarawan | nersgarawan.blogspot.com | Reader | Leader

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kegagalan, Sebuah Hasil Ataukah Proses?

6 September 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Gading Aurizki*

Tiada satupun orang di dunia ini yang ingin merasakan kegagalan. Karena menurut kebanyakan orang kegagalan adalah sesuatu yang menyakitkan, mengecewakan, menyedihkan, bahkan menghinakan.

Zaman dulu di Jepang, sebuah kegagalan sepantasnya dibayar dengan harakiri, sebuah tradisi bunuh diri yang marak di kalangan Samurai dan pejabat kerajaan. Di kalangan mafia Amerika, anggota yang gagal menjalankan misi akan dijadikan buronan untuk dibunuh. Di tempat lain, orang yang gagal memegang norma sosial akan dikucilkan dari lingkungannya. Dan masih banyak lagi jenis konsekuensi yang akan menimpa seseorang ketika ia dicap sebagai orang gagal.

Namun, sebagai seorang manusia yang tidak akan luput dari khilaf, kegagalan adalah hal yang wajar kita temui dan kita alami. Hampir di setiap waktu kita berpotensi untuk gagal. Gagal mengatur waktu, gagal meraih nilai baik saat ujian, gagal mendapatkan beasiswa studi, gagal dalam perlombaan, gagal mempertahankan argumen, gagal dalam menjalankan usaha, gagal mendapatkan cinta, dan kegagalan lain yang tak terhitung jumlahnya.

Jadi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah merasakan kegagalan. Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, seorang nabi akhir zaman yang menurut Michael H. Hart adalah pribadi paling berpengaruh di dunia pun juga pernah mengalami kegagalan. Beberapa contohnya adalah kegagalan memenangkan Perang Uhud, dan kegagalan untuk meyakinkan Kaum Kafir Quraisy agar bersedia menerima Islam pada masa awal penyebarannya.

Tokoh sukses yang sekarang menghiasi buku-buku pelajaran sejarah, diberitakan media, dan malang melintang dibicarakan banyak orang juga pernah merasakan kegagalan. Thomas Alva Edison, pemilik paten terbanyak dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, pernah dianggap idiot oleh gurunya sehingga dia dikeluarkan dari sekolah. Tompi, seorang penyanyi pemilik suara khas jazz yang jarang ditemui di Indonesia, sewaktu kecil pernah dicela guru seninya karena memiliki suara cempreng. Asma Nadia, penulis produktif yang kini telah menerbitkan puluhan karya best seller, naskah cerpennya pernah dijadikan bahan tertawaan oleh seniornya di teater.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh orang besar yang berkali-kali gagal, tetapi tidak mengurangi kontribusi mereka untuk layak disebut sebagai ‘orang besar’. Itu membuktikan bahwa kegagalan bisa menimpa siapa saja. Tidak peduli dia kaya atau berkecukupan, berotak cerdas atau biasa saja, aktif atau pasif, pasti semuanya pernah mengalami kegagalan.

* * *

Bagaimana Seseorang Dianggap Gagal?

Secara psikologis sangat jelas, seperti yang disinggung di awal kalau kegagalan akan perasaan sakit, kecewa, sedih, hina, bagi orang yang merasakan dampaknya. Seorang suporter sepak bola akan menganggap tim yang dibelanya gagal karena timnya tersebut selalu kalah di setiap pertandingan. Seorang pimpinan perusahaan akan menganggap anak buahnya gagal ketika kinerjanya mengecewakan. Seorang suami istri akan menganggap pernikahan mereka gagal ketika di dalam rumah tangga yang ada hanyalah kesedihan, bukan kebahagiaan.

Secara sosial, orang dianggap gagal ketika tidak bisa memegang nilai, norma, maupun budaya yang berlaku di masyarakat. Namun dalam sudut pandang sosial ini, semuanya relatif dan sangat bergantung pada nilai, norma, dan budaya tersebut. Bisa jadi satu masyarakat dengan masyarakat lain akan berbeda pandangan tentang ukuran kegagalan seseorang.

Dalam keluarga ilmuan, seorang seniman dianggap gagal karena tidak berpijak pada nilai-nilai ilmiah. Di kalangan dosen dan akademisi, seorang mahasiswa dianggap gagal ketika IPK mereka rendah. Di komunitas preman, anggota yang tidak merokok dan menegak minuman keras dianggap gagal karena dinilai gak gaul. Di kalangan profesional, seseorang dianggap gagal ketika tidak becus menyelesaikan tugas. Dalam lingkungan Islami, orang akan dianggap gagal ketika tidak bisa menerapkan syari’at secara baik dan benar.

Intinya, anggapan bahwa seseorang gagal atau tidak adalah relatif. Baik dari segi psikologi maupun sosial, masing-masing memiliki perspektifnya sendiri-sendiri dalam memandang kegagalan. Setiap instrumen yang ada di dalamnya, bisa bersikap berbeda terhadap satu perlakuan. Jika tidak ingin disebut sebagai seseorang yang gagal, tinggal bagaimana sikap kita terhadap lingkungan masyarakat dan seberapa kuat usaha kita untuk tidak gagal.

* * *

Menghindari Kegagalan, Bisakah?

Kita tahu bahwa tidak ada orang yang ingin merasakan gagal. Kita juga tahu bahwa tidak ada orang yang lepas dari kegagalan. Namun terkadang kita masih menawar, “Meskipun tidak bisa terlepas dari kegagalan, masih bisakah kita menghindarinya?”

Ada orang yang berpikiran, tanpa melakukan sesuatu kita bisa menghindari kegagalan. Logika yang dipakai adalah logika –penulis menyebutnya- ‘jalan tengah’. Kira-kira gambaran mudahnya seperti ini; “Kalau tidak ingin gagal, tidak usah melakukan sesuatu. Dengan begitu kita tidak akan merasakan kegagalan, ataupun meraih kesuksesan.”

Sepintas masuk akal, kegagalan ‘tampak’ bisa dihindari. Tetapi apakah logika itu tepat fungsi?

Orang yang tidak bekerja tidak akan meraih hasil dari suatu pekerjaan (tidak berhasil). Sedangkan tidak berhasil adalah sama dengan gagal. Jadi bagaimana bisa dengan tidak melakukan apapun kita bisa menghindari kegagalan?

Sebelum melanjutkan pembahasan, mari bertanya kepada diri, selama ini kita beranggapan kegagalan adalah hasil dari suatu proses ataukah proses untuk menggapai hasil?

Kalau kita menganggap kegagalan adalah hasil dari suatu proses sama saja kita mengaggap bahwasebuah perjuangan panjang yang tidak berujung pada kemenangan dianggap sebagai suatu kegagalan. Seorang siswa SMA yang berjuang keras, bersimbah peluh untuk menghadapi Ujian Nasional harus terjerembab hanya karena kesalahan eksekusi akhir cenderung dianggap gagal oleh orang-orang di sekitarnya. Inilah pilihan kebanyakan orang yang menganggap bahwa hasil akhir adalah segalanya.

Dengan anggapan bahwa kegagalan adalah suatu hasil, akhirnya muncul pemikiran, “Diam tidak melakukan apapun bisa menghindari kegagalan.” Ketika ada perlombaan lari misalnya, karena takut gagal meraih juara seseorang tidak jadi ikut lomba. Dia berpikir, “Juara adalah hasil, kalau tidak meraih juara berarti tidak berhasil, alias gagal. Jadi lebih baik tidak ikut lomba sehingga tidak perlu gagal.”

Sedangkan jika anggapannya bahwa kegagalan adalah proses berarti kita mengaggap dalam setiap kegagalan yang terjadi saat ini, menyimpan asa keberhasilan untuk esok dan nanti. Orang-orang besar telah membuktikan bahwa kegagalan yang datang tidak sekali dua kali membuat kemampuan mereka semakin terasah sedemikian hebat. Ketika memang tiada hasil akhir yang manis bagi orang yang telah berjuang keras, maka cukuplah perjuangannya menjadi kado terindah untuk dirinya.

Karena sebuah proses dinilai secara holistik, maka dari awal sampai akhir nilai-nilai perjuangan itu akan diakumulasi. Ketika seseorang tidak melakukan sesuatu apapun demi menghindari kegagalan, maka sesungguhnya dia telah gagal untuk mencoba, gagal untuk sukses, dan gagal untuk menghindari kegagalan. Karena kegagalan bukanlah untuk dihindari, tetapi untuk dilewati.

Kalaupun ada, satu-satunya cara menghindari kegagalan adalah meraih kesuksesan. Sedangkan kesuksesan tidak mungkin di raih tanpa kita berbuat sesuatu. Gagal atau ‘tidak berhasil’, hanya bisa dihindari dengan ‘berhasil’. Suatu keburukan tidak akan dapat dihapus oleh diam, keburukan hanya dapat dihapus oleh kebaikan.

* * *

Apa yang Engkau Takutkan dari Sebuah Kegagalan, Kawan?

Kita memahami kalau kegagalan adalah hal lazim dalam sebuah proses kehidupan. Kita juga sudah mengetahui bahwa kegagalan ada bukan untuk dihindari. Namun mengapa kita masih takut mengalaminya?

Masyarakat kita belum bisa sukses bukan karena mereka tidak berpotensi, melainkan kebanyakan dari mereka masih takut gagal. Sebelum mencoba, mereka sudah membayangkan hal buruk yang tidak-tidak jika mereka mengalami kegagalan. Akhirnya mindset perjuangan yang berkembang luas di masyarakat kita adalah, “Bagaimana menghindari kegagalan,” bukan, “Bagaimana meraih kesuksesan.”

Andaipun nanti kita gagal, apa dampak signifikan bagi diri kita? Apakah umur kita berkurang? Apakah dunia akan kiamat? Apakah orang-orang akan mengucilkan kita? Apakah Allah akan murka pada kita? Selama kegagalan itu bukanlah kegagalan untuk taat pada-Nya, kita tidak perlu khawatir. Karena Allah akan menolong seorang hamba yang senantiasa mentaati-Nya.

Seorang presiden dan para menteri tidak mungkin menjadi seperti apa meraka sekarang jikalau dulunya mereka takut gagal. Meskipun presiden dan menteri-menteri itu di manapun dirinya berada selalu dihujat, dikatakan gagal, hendak diturunkan, dan sebagainya, mereka berkeyakinan bahwa dengan berkontribusi sebagai presiden dan menteri mereka bisa berbuat banyak untuk rakyat. Hujatan itu hanyalah dari manusia, sedangkan manusia juga punya potensi untuk salah. Lalu mengapa harus takut?

Yang perlu kita takutkan adalah ketika kita tidak bisa memberi kemanfaatan kepada orang lain. Ketika kita berdiam diri –karena takut gagal- kita tidak akan bisa menolong orang lain yang kesusahan, kita tidak bisa membuat dunia ini menjadi lebih baik, dan kita tidak akan bisa membuat diri kita sendiri bahagia. Karena seseorang akan merasakan puncak kebahagiaan di dunia ketika dia bisa bermanfaat dan berguna bagi orang lain.

* * *

Menghilangkan Kata ‘Gagal’ dari Kamus Kehidupan Kita

Mengapa di kamus kehidupan orang biasa masih terselip istilah gagal? Karena orang biasa hanya berpikir untuk sukses. Ketika mereka tidak meraih sukses mereka akan gagal. Sedangkan pada diri orang hebat tidak ada kata ‘gagal’ dalam kamus kehidupan mereka. Karena di benak mereka tidak ada paradigma ‘sukses atau gagal’, melainkan ‘seberapa sukses dirinya’. Ketika dia belum bisa meraih sesuatu, dia tidak menganggapnya sebagai sebuah kegagalan, melainkan kesuksesan yang belum mencapai target.

Dalam diri orang hebat yang namanya kegagalan hanyalah satu; gagal. Dan kalau ternyata mereka mengalami kegagalan, hanya satu pula yang mereka lakukan; berusaha untuk lebih sukses. Namun berbeda ketika mereka memandang sukses. Sukses itu bertingkat-tingkat. Ketika satu kesuksesan diraih, masih ada kesuksesan lain yang bisa dikejar.

Sangatlah rugi orang yang hanya memikirkan kegagalan, namun melupakan kesuksesan yang menjulang setinggi langit. Ibarat orang yang selalu memandang ke bawah menghindari lubang beberapa jengkal yang dikhawatirkan membuat mereka terjerembab, namun mereka tidak tahu kalau di hadapan mereka ada tangga yang bisa mengantarkan mereka ke tempat yang lebih tinggi.

Semoga menginspirasi! []gea

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun