Ini bahasan masih tentang mimpi yang menggapai-gapai perjalanan yang dilakunya. Tentang mimpi yang darimana datangnya tidak diketahui hingga menjadi mimpi yang sangat berarti. Mimpi yang mempengaruhi setiap laku, kata, dan hidup yang mulanya seperti tak dipunyai menjadi kehiduan milik tuan puteri. Jangan dikira tidak ada kesalahan, kegagalan, dan putus asa dalam mewujudkan mimpi. Sayanganya, semua itu sudah sangat dihafal hingga bagaimana nanti jika ketiganya datang, berbagai tameng telah disiapkan. Bahkan perangkap sudah terpasang diluar gerbang untuk menangkap ketiganya sebelum muncul kepermukaan.Â
Dan disanalah segalanya terlihat berbaur, seperti teman akrab yang lekat-lekat karena sangat dekat yang bersama-sama menggapai puncak kejadian dari mimpinya.Kata-kata ini hanyalah sebuah pengantar dari seorang anak yang terlambat memahami mimpi. Ya, terlambat untuk memahami apa yang menjadi impiannya. Lalu bagaimana ia bisa hidup selama belasan tahun tanpa mimpi? Tidak ada yang tau selain dirinya sendiri.
Dunia tidak selamanya hitam, tidak selamanya putih, tidak juga abu-abu. Karena setiap warna adalah alasan dari setiap peristiwa yang dialami manusia saat itu juga.Bagaimanapun, dunia banyak warnanya, tidak hanya merah kuning hijau. Tetapi masih banyak lagi komponen warna yang mau dipadupadankan menjadi satu warna yang lebih indah. Langit pun masih setia dengan kelembutan birunya dan kenyamanan warna putihnya, menyejukkan mata. Â Begitu juga dengan hidup anak ini (aku). Banyak warna dalam hidupnya yang hitam bahkan sangat hitam. Namun setelah jalan yang ia lalui semakin panjang, semakin panjang pula pikirnya akan sebuah hidup dan kehidupan. Dan pelajaran dari sebuah keterlambatan adalah sebuah mimpi dari gabungan bunga tidur yang terserak dan tersembunyi di balik tubuh yang dimilikinya.
Bukankah setiap manusia memiliki setidaknya satu kesalahan fatal dalam hidupnya? Dengan tidak memahami mimpiku sejak awal adalah kesalahan sangat fatal. Satu hal kecil yang membuatku lebih labil dan sulit menentukan keputusan. Namun setelah sadar dan terbangun dari tidur panjang yang membawa mimpi semu, aku mendapatkan mimpi sempurnaku. Sederhana saja, aku hanya tidak ingin mengecawakan kedua orangtuaku dengan kehadiranku di dunia ini. Mungkin mimpi ini adalah mimpi standar yang dimiliki banyak orang, malahan milik semua orang yang memiliki orang tua. Juga, mimpi ini mungkin mimpi yang paling biasa diantara mimpi yang lainnya. Tidak menjadi masalah untukku, karena setiap orang bebas untuk memilih mimpinya sendiri. Setiap orang berhak menentukan Unlimit8 dreamnya sendiri.
Tujuan yang spesial harus dilakukan dengan perjuangan yang lebih spesial. Karena tidak mengecewakan orang tua adalah hal yang sulit (makanya sangat spesial). Bagaimana caranya atau apa yang harus aku lakukan, aku tidak tau pastinya. Namun yang jelas, jika hanya bicara saja tidak akan terjadi apa-apa bukan? Dan yang aku lakukan adalah membuat rencana dengan matang, tidak lupa dengan cadangannya jika ada ketidaksesuaian dalam perjalanannya, kemudian melakukan rencana-rencana tersebut satu per satu.Â
Juga, karena aku masih menjadi seorang anak dari kedua orangtuaku, rencanaku tidak jauh dari apa yang diinginkan kedua orang tuaku (secara garis besar) dan aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Keputusan terakhir ada padaku, begitu kata mereka. Katanya juga, mereka hanya mengarahkan saja. Mereka percaya jika aku bisa memilih yang terbaik. Aku percaya pada mereka.
Apa saja yang perlu disiapkan untuk mencapai Unlimit8 ini? Jumlah langkahnya aku tidak tau, waktu yang dibutuhkan pun aku ragu akan samapai kapan. Tetapi yang aku ketahui adalah waktu yang dibutuhkan untuk tidak mengecewakan orang tua adalah selamanya. Bahkan setelah aku menikah, punya anak, memiliki keluarga sendiri, hingga bertemu dengan Yang Maha Kuasa, aku berusaha untuk tidak mengecewakan mereka lagi. Cukup hingga beberapa waktu lalu saja dan cukup sebagai salah satu warna kehidupan ku yang lalu.
 Dan rencana pertama adalahselalu mendo’akan mereka.Selain agamaku menganjurkan untuk selalu mendo’akan orang tua, tetapi juga karena aku merasa sangat membutuhkan mereka selalu dalam lindunganNYA. Selalu berharap jika mereka mendapatkan yang terbaik dari Sang Pencipta untuk setiap harinya, juga selalu berbahagia. Mendo’akan mereka tentulah tidak mengenal waktu bukan? Semoga itu tidak akan ada putusnya.
Rencana kedua adalah memberikan yang terbaik dari apa yang telah mereka berikan.Orang tua pasti memberikan banyak hal kepada anaknya. Tidak mungkin tidak. Â Meskipun aku tidak dapat memberikan hal yang sama untuk mereka, aku berusaha untuk memberikan yang terbaik atas harapan mereka padaku. Sebagai keluarga sederhana yang kehidupannya pas-pasan, pendidikan adalah salah satu hal utama dalam keluargaku. Dari situ, orang tuaku terutama bapak, benar-benar berusaha keras dengan segala nasehat, omelan, dan pertahanannya yang lain untuk pendidikan terbaik anak-anaknya. Beruntung aku mendapatkan beasiswa dari sekolah dan akhirnya mampu menyelesaikan studiku hingga tingkat SMA tanpa ada masalah biaya. Saat kuliah pun sama.
 Aku mendapatkan salah satu beasiswa yang disediakan pihak kampus sejak pertama kali resmi menjadi mahasiswa di universitas tersebut. Dan disana untuk pertama kalinya aku melihat betapa bahagia dan bangganya mereka denganku karena aku dapat masuk di universitas yang sama dengan kakakku di Institut Pertanian Bogor (IPB). Semakin berlipat saja kebahagiaanku saat itu. Dapat masuk di salah satu univrsitas favorit di Indonesia dengan beasiswa dan dapat bonus luar biasa yaitu senyum bahagia dan pelukan hangat kedua orangtuaku. Hari itu, waktu yang singkat itu benar-benar sangat istimewa untukku. Walaupun hanya sebentar saja.
Demi melihat senyum itu terkembang lagi, aku berusaha keras dalam studiku di IPB. Satu tahun pertama, aku baik-baik saja. Senyum itu masih ada di sana dan tetap ada di sana. Namun ketika memasuki tahun kedua, senyum itu memudar. Terlihat sangat samar dari tempatku berbicara saat itu. Terdengar suara kecewa tertahan dari mereka setelah aku melaporkan perkembangan nilaiku pada mereka. Memang, mereka mengatakan jika itu wajar karena aku belum terlalu beradaptasi dengan mata kuliah baru di tingkat dua dan aku harus tetap bersemangat untuk memperbaikinya di semester berikutnya. Kata-kata itu seperti pisau yang menjadikanku daging cincang dalam sekejap.Â